Perjumpaan Kekristenan Dengan Ritus Rambu Tuka' dan Rambu Solo' di Toraja Dari Perspektif Teologi Biblika

A. Pengantar

Hal pertama yang segera memaksa saya mengernyitkan kening ketika berhadapan topik ini adalah pilihan kata. Injil, Agama, Kekristenan, Budaya, Adat, Aluk. Dengan sangat sadar panitia telah memilih “Injil” dan “Kebudayaan” dalam rangka menggumuli ritus rambu tuka’ dan rambu solo’ dengan harapan lahirnya “Pedoman/panduan pelaksanaan rambu solo’ dan rambu tuka’” dalam Gereja Toraja. Namun perkenankan saya untuk mengganti kata “Injil” dengan “Kekristenan”. Juga mengganti ungkapan “Budaya Toraja” dengan langsung merujuk “Ritus Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’(RitusRS/RT)” sebagaimana acuan panitia. Bukan bermaksud menghindari kata “budaya” yang bisa ditarik ke ranah seluas-luasnya, tetapi untuk berfokus pada Ritus RS/RT di Toraja, walaupun hal ini tentu tidak berdiri sendiri karena berada dalam sebuah kompleksitas ketika bicara tentang Toraja. Sorotannya dua hal yaitu proses pertemuannya dan ide dalam ritus itu sendiri.

B. Kontekstualisasi : Toraya Ma'kombongan dan Konsultasi III Pekabaran Injil

Hasil Toraya Ma’kombongan telah merupakan perangsang yang cukup kuat untuk Semiloka ini, terutama karena dua isu. Yang pertama pertama adalah klaim mengenai keterpisahan aluk dan adat – lalu berlanjut dengan liar dan genitnya pelaksanaan ritus RS/RT – sebagai akibat negatif dari perjumpaannya dengan Kekristenan. Klaim ini tampaknya menimbulkan reaksi yang cukup beragam. Ada yang segera berlutut mengaku dosa. Ada juga yang menolak, baik secara halus maupun ekstrim, dengan berbagai argumen. Saya sendiri berhati-hati untuk bereaksi dan lebih memilih memikirkan hal lain : seandainya Kekristenan tidak datang ke Toraja, kira-kira bagaimana nasib ritus RS/RT, seandainya bertemu dengan ideologi lain ?

Isu kedua kedua adalah kesadaran untuk melakukan revitalisasi, reinterpretasi, reaktualisasi nilai budaya Toraja. Banyak nilai yang dipandang luhur namun telah hilang dan digantikan dengan nilai lain yang justru membahayakan esensi budaya itu sendiri.

Selain rangsangan dari Toraja ma’kombongan, Hasil Konsultasi III PI pada tanggal 20-25 Mei 2005, yang kemudian menjadi salah satu Keputusan SSA 22 Jakarta sepantasnya jadi pertimbangan. Salah satu pokok penekanan dalam konsultasi tersebut menyatakan bahwa hendaknya modus penginjilan dan dilaksanakan dalam sikap menemukan Kristus di dalam konteks ketimbang memaksakan Kristus ke dalam konteks, dengan terlebih dulu meletakkan sebuah kesadaran mengenai kerumitan proses berteologi jika kita masih berpegang ketat kepada warisan tradisi reformatoris (juga menjadi warisan Gereja Toraja) yang cenderung dikhotomis, yakni mempertentangkan antara Injil sebagai yang sepenuhnya ilahi di satu pihak, dan kebudayaan yang sepenuhnya manusiawi di pihak lain. Atas dasar itulah ditegaskan bahwa reinterpretasi, redefinisi dan restrukturisasi menjadi sebuah kebutuhan gereja.

Dari catatan di atas menjadi jelas bahwa melalui semiloka ini, Gereja Toraja sedang menjalankan sebuah kontekstualisasi. Mengenai proses ini, pikiran kita tentu bisa langsung mengarah pada sosok Pdt Dr. Th. Kobong yang pokok pikirannya juga dibedah dalam Seminar ini. Rasanya tidak berlebihan untuk memandang beliau sebagai perintis teologi kontekstual di Toraja. Kobong telah meletakkan sebuah kesadaran untuk melakukan interpretasi yang mendalam terhadap kandungan makna di balik kebudayaan yang dengannya masyarakat tumbuh, sehingga dalam bingkai budaya tersebut orang Toraja bisa menikmati imannya. Salah satu ide besarnya adalah “Gereja sebagai Tongkonan Kristus” yang tergambar dalam disertasi tahun 1989 di University of Hamburg berjudul Evanggelion und Tongkonan (Injil dan Tongkonan). Memang metodologinya masih terkesan berkisar pada model penerjemahan yang bisa saja mengundang reaksi negatif karena ada kesan perampasan nilai-nilai Tongkonan menurut orang Toraja, menjadi Tongkonan Kristus dengan mengungkapkan kebenaran injil “ke dalamnya” (bukan/belum : “di dalamnya”). Jadi yang terjadi masih berkisar pada contextualized teology dan bukan contextualizing teology menurut Shoki Coe. Dalam ide ini, Kekristenan (dari Barat) di-Torajakan.

Jadi kita perlu memperjelas pengertian kontekstualisasi yang hendak dibangun. Mungkin sebaiknya kita mencoba melampaui model penerjemahan yang telah dirintis Kobong. Tentu model ini tidaklah ditolak. Bagaimanapun model ini bisa membantu orang Toraja mendekatkan diri kepada budayanya sendiri yang selama ini terlanjur dicap kafir. Tetapi dalam semiloka ini sebaiknya mencoba untuk bergerak lebih jauh ke dalam esensi budaya itu untuk menemukan nilai-nilai teologis yang kira-kira bisa menjadi pertimbangan dalam menanggapi penyataan Allah, dengan prinsip bahwa dalam ritus-ritus orang Toraja (berikut etikanya), nilai-nilai injil juga telah ada.

C. Dimensi Kontekstual Alkitab

Dalam waktu yang cukup lama, Alkitab dibaca dan ditafsirkan untuk membela dan menguatkan ajaran tertentu. Namun metode ini dianggap tamat riwayatnya pada masa reformasi abad 16. Orang mulai melihat Alkitab secara lebih kritis. Namun dalam perkembangannya, kegairahan reformasi pada akhirnya terjebak pula dalam metode pembacaan Alkitab yang agak berat sebelah. Alkitab memang tidak lagi dibaca untuk membela dan menguatkan ajaran tertentu, namun dibaca dan ditafsirkan berdasarkan dogma tertentu Ini adalah keberatan kaum biblis.

Bangkitnya modernitas pada abad ke-17 menjadi tonggak baru dengan munculnya pendekatan kritik historis yang bersifat author-oriented. Pendekatan ini berusaha untuk seobjektif mungkin menemukan makna asli dari sebuah teks dengan berusaha merekonstruksi dunia yang ada di belakang teks secara ilmiah. Sumbangan terbesarnya adalah terbangunnya kesadaran mengenai kesenjangan ruang dan waktu antara teks Alkitab dengan dunia pembaca (kita). Disadari bahwa Alkitab adalah produk sebuah konteks historis sehingga merupakan kumpulan dokumentasi karya ilahi yang ditulis oleh dan kepada orang atau komunitas tertentu dalam waktu, tempat dan kondisi tertentu pula. Dengan demikian kita harus menyadari bahwa Alkitab adalah hasil dari sebuah proses kontekstualisasi. Di sini tidak berarti bahwa kewibawaan Alkitab, diragukan. Namun minimal kita sebaiknya menyadari bahwa Alkitab memiliki konteks. Sekiranya konteksnya adalah Toraja, maka tentu kisahnya jadi berbeda.

Pertanyaannya sekarang adalah siapa saja yang berdiri di balik kontekstualisasi dalam Alkitab : Penulis, Allah yang diberitakan penulis, Pembaca, Proses Kanonisasi ? Dapatkah jejak berteologi kontekstual diendus dari teks Alkitab ? Hal itu akan di ulas secara sederhana dalam bagian berikut. Namun mengingat konteks Alkitab begitu luas dan kompleks, serta kepentingan dari Semiloka ini, maka yang akan lebih banyak disoroti dalam hal ini adalah ritus-ritus agama dalam Alkitab.

D. Ritus dalam Alkitab sebagai Proses Kontekstualisasi dan Implikasi metodologis untuk berteologi dalam Konteks RS/RT

Berbicara tentang ritus dalam Alkitab akan segera mengantar kita pada ritus korban, berikut segala pernak-perniknya- yang pada tataran tekstual merupakan sentral peribadahan. Siapa yang menyuruh ? Kapan yang mulai ? Dari mana asalnya ? Upaya melacak asal usul praktek korban dalam Perjanjian Lama, merupakan suatu kajian yang sukar pada aras tekstual, karena tidak ada keterangannya. Catatan pelaksanaan ritus korban seakan-akan muncul begitu saja dalam Alkitab tanpa ada informasi yang cukup tentang asal-usul ritus itu. Tidak ada juga bukti bahwa Allahlah yang punya ide dari awal.

Saya mengajak kita untuk sejenak menelusuri perkembangan ritus korban dalam sejarah perjalanan umat Tuhan mulai dari bentuk yang paling awal dalam kitab Kejadian sampai bentuk definitif setelah keluaran dari Mesir menjadi ibadat kepada Tuhan. Pemaparan ini hanya merupakan garis besar saja.

Sebelum Zaman Abraham, Kitab kejadian mencatat dua ritus. Yang pertama adalah persembahan Kain dan Habel (Kej 4:3-5). Kain sebagai petani mempersembahkan sebagian hasil tanahnya dan Habel sebagai peternak mempersembahkan anak sulung kambing dombanya. Siapa yang menyuruh mereka ? Tuhan ? Teks tidak memberi informasi. Yang kedua adalah persembahan Nuh setelah air bah surut (Kej 8:20-22). Nuh mengambil beberapa ekor binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram, lalu ia mempersembahkannya sebagai korban bakaran (ola) di atas mezbah yang didirikannya. Siapa yang mengajarinya demikian ? Adakah tenaga zending ? Tidak mungkin. Semua orang sudah mati. Dan entah siapa yang memberi tahu Nuh tentang yang haram dan tidak haram.

Selanjutnya Zaman Bapak-bapak Leluhur, Alkitab mencatat perintah Allah kepada Abraham untuk mempersembahkan Ishak anaknya sebagai korban bakaran (Kej 22). Banyak diskusi tentang makna persembahan Abraham ini dengan berbagai interpretasi, terutama menyangkut idea korban manusia dan menghubungkannya dengan penyembahan kepada Molok. Ada yang menganggap bahwa idea korban manusia adalah hal yang cukup populer dalam dunia timur dekat saat itu. Sebaliknya adapula yang menyebutkan bahwa idea itu sekedar berada dalam kerangka ujian yang dilakukan Allah kepada Abraham. Namun perlu digaris bawahi di sini adalah pertanyaan Ishak tentang ketiadaan anak domba untuk korban bakaran, dan juga pada akhir kisah ini dimana Allah menyediakan domba jantan (Kej 22:13) sebagai korban bakaran. Hal ini memberi indikasi bahwa ritus korban sudah dikenal saat itu. Selain itu dapat pula dicatat persembahan korban sembelihan (zevakh) dan korban persembahan curahan (Kej 35:14) yang dilakukan Yakub (Kej 31:54;46:1).

Pada Zaman Keluaran, upaya pembebasan dari perbudakan di Mesir, mengedepankan isu ritus yaitu diberikannya kesempatan kepada orang Israel untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan (Kel 3:18). Namun ketika Firaun bersikeras tidak mengijinkan bangsa Israel, Allah menindak sikap itu melalui tulah. Dan dalam mengantisipasi tulah itu, lagi-lagi isu persembahan korban dikedepankan, dan berhasil.

Setelah bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan selama pengembaraan di padang gurun, ritus korban semakin mendapatkan bentuk yang definitif dengan bentuk yang baku atau torat yang diuraikan dalam Kitab Imamat. Ada beberapa jenis korban yang dikenal dalam periode ini, antara lain korban bakaran (œlâ), korban sajian (minkha), korban sembelihan (zevakh) yang berhubungan erat dengan korban keselamatan/pendamaian (shelamim), korban penghapus dosa (khatta’t), dan korban penebus salah (asyam). Berdasarkan keadaan korban, ritus ini dapat dibedakan atas 3 yaitu korban dibakar sampai habis (ola), korban yang disembelih dan dimakan bersama (minkha dan zevakh), korban yang hanya dimakan oleh para imam (khatt’at dan asyam). Dalam masa ini, peranan imam sangat menonjol serta adanya pemusatan pelaksanaan ritus di Kemah Suci.

Dari uraian di atas, pertanyaan yang sama sekali tidak ditemukan jawabannya adalah motivasi dasar yang kemudian membentuk ritus. Hal ini membuat kita mau tidak mau melihat bahwa motifasi dasar ritus korban pertama-tama berasal dari ritus-ritus yang telah berkembang Asia Barat Daya Kuno secara umum, baik dikalangan orang Semit Purba, Mesopotamia, atau orang Kanaani. Jadi di kalangan penyembah Yahweh, ritus itu seakan-akan merupakan suatu hal yang awal mulanya sama sekali tidak berhubungan dengan pelaksanaan perintah Yahweh, tetapi kemudian menjadi ekspresi spiritual mereka yang dilakukan dengan sedikit banyak memiliki kesamaan dengan sistem religi yang sudah ada pada zamannya. Artinya kehadiran Tuhan dalam masyarakat di mana ritus itu hidup, tidak serta merta dimusnahkan begitu saja atau dihakimi dengan jawaban ya atau tidak. Yang terjadi adalah interpretasi terhadap makna, lalu menempatkan kedaulatan dan kekuasaan Tuhan di dalamnya. Jika ada yang memang tidak memenuhi kemungkinan yang olehnya manusia menyembah TUHAN, maka itu akan dihapuskan, misalnya penyembahan kepada Molok dengan korban manusia. Bukan memisahkannya menjadi sekedar adat saja, lalu menghadirkan sesuatu yang sama sekali lain sebagai pedoman spiritual.
Jadi sampai di sini, kita dapat menjawab pertanyaan tentang siapa yang berdiri di balik kontekstualisasi dalam Alkitab, yaitu Allah sendiri.

Selain pendekatan diatas, kita bisa juga menjawab pertanyaan mengenai pelaku kontekstualisasi dalam ritus Alkitab dengan memperhatikan sumbangan Teori Sumber yang berbicara mengenai sumber-sumber dari kanon yang sekarang kita terima. Di sini kita bertemua dengan Wellhausen mengenai sumber E, Y, D, P. Khusus tentang ritus, sumber yang paling banyak berbicara secara detail tentang hal itu adalah P (teks dari Tradisi Imam). Dengan menggunakan sumbangan dari teori ini, bisa dikatakan bahwa adanya teks-teks mengenai korban sebelum Tuhan menyusun “liturgi” dalam kitab Imamat, disebabkan oleh mindset penulis teks itu sendiri yang sudah mengenal sistem korban, tanpa menyadari bahwa kesan kerancuan teks bisa saja terjadi karena tampaknya sebelum “liturgi” mengenai ritus diterbitkan oleh Tuhan dengan Musa sebagai juru tulisnya, sudah ada ritus-ritus, bahkan pada masa Adam dan Hawa sekalipun. Namun penelusuran dengan teori sumber ini tidak dapat meniadakan tesis bahwa ritus dalam masa awal Alkitab sampai masa Musa dan seterusnya, bukanlah sebuah hal yang baru sama sekali dari Tuhan, melainkan mentransformasi apa yang sudah hidup dalam masyarakat. Dan sampai di sini kita dapat menjawaban kedua mengenai pelaku kontekstualisasi yaitu Penulis Alkitab.

Implikasi metodologisnya bagi Gereja Toraja dalam perjumpaan dengan Ritus RS/RT

Kenyataan di atas segera dapat kita hubungkan dengan metode berteologi Gereja Toraja sejak awalnya hingga sekarang. Apa yang dilakukan terhadap ritus RS/RT ? Saya duga bahwa diskusi panjang sebelum materi ini telah menunjukkan bahwa para pendahulu kita tidak menggunakan metode kontekstualisasinya Tuhan dan para utusannya dalam menghadapi ritus-ritus yang sudah hidup dan dikenal manusia, lalu menjadikannya sebagai sarana penyembahan kepada Tuhan. Yang terjadi adalah unsur penyembahannya dipreteli lalu mengijinkannya sebagai adat saja. Padahal aluk tidak terpisah dari adat. Belum lagi pemali yang menopangnya. (Tentu hal ini pun telah dibahas dalam pembedahan buku hasil Toraya Ma’kombongan)

Untuk saat ini, kita tidak perlu lagi terus menerus meratapi liarnya dan genitnya ritus RS/RT di Toraja. Justru ketika kita mengeluh dengan sulitnya pengakaran nilai-nilai Kekristenan dibanding maka kuatnya Ritus RS/RT mempengaruhi pranata sosial di Toraja, Gereja memiliki peluang untuk berteologi dalam konteks ritus RS/RT sehingga ritus itu bukan hanya menjadi sebuah upacara adat, namun didalamnya orang Toraja dapat menikmati persekutuan dengan Allah dan sesama manusia. Nilai-nilai yang ada dalam ritus-ritus itu (sebelum menjadi liar) dapat menjadi sumber teologi dalam dialektika yang dinamis dengan Firman Tuhan.

Mungkin ketakutan besar yang menghantui dalam proses doing teologi ini adalah bahaya sinkritisme. Apalagi jika kita mau berbicara tentang apa yang kita sebut kemurnian. Bagaimana dengan Natal, penamaan hari, penamaan bulan ? Memang pencampuran dalam paham ini perlu diwaspadai. Namun teologi kontekstual berbeda dengan sinkritisme yang mencampurkan berbagai paham dan ideologi untuk menciptakan sebuah keserasian lalu menghasilkan sesuatu yang abstrak. Dasar kita jelas : Sola Sciptura. Namun kita harus menyadari –sebagai mana konsultasi PI 3 – bahwa Kekristenan di Indonesia lahir sebagai buah Pekabaran Injil oleh para missionaris dari Barat. Injil yang dibawa ke Indonesia adalah buah penghayatan iman mereka dalam satu kurun waktu tertentu. Namun kita sering menganggap bahwa konsep teologi yang kita warisi tersebut sebagai konsep yang universal dan dapat membangkitkan penghayatan iman yang benar bagi segala tempat dan zaman. Hal ini bisa benar, seandainya wilayah pekabaran Injil dihuni oleh manusia tanpa identitas, yang teraktualisasi – antara lain – melalui ritus adat istiadat atau budaya yang lahir dari sistem religi yang dianut sebelumnya. Atau seandainya konsep teologi itu adalah rumus-rumus proposisional yang dirancang dan diturunkan dari langit (TUHAN) sehingga dapat berlaku seketika di segala tempat dan waktu. Apa yang dibawa oleh para missionaris itu adalah sebagian kekayaan Kristus. Sebagian yang lain dari kekayaan tersebut, entah bagaimana sudah ada di Timur (Asia) ! Dan anehnya, sangat kecil kesadaran orang Timur terhadap kenyataan bahwa apa yang dibawa dari Barat sebenarnya berasal dari Timur juga.

Prinsip di atas tentunya tidak akan membuat kita terjebak dalam paham yang keliru, antara lain mendewa-dewakan masa lalu yang tidak akan pernah kembali (arkaisme), atau mengembangkan sikap anti Barat (xenophobia) dan kembali menjadi tradisional, atau beriktiar membangun teologia mulai dari nol. Memang interpretasi terhadap penyataan Allah berdasarkan identitas dan situasi kita harus dilakukan. Tetapi bukan berarti apa yang ada sekarang (sebagai warisan teologia dari Barat) harus dihancurkan dan membangun sesuatu yang sama sekali baru. Yang harus dilakukan adalah berusaha untuk menjaga agar hal-hal yang kita warisi dari Barat, tidak sampai mendominasi serta menentukan penghayatan iman kita, sehingga kekayaan yang ada dalam kebudayaan sendiri tidak dapat disumbangkan dalam penghayatan tersebut dan sehingga terhimpit, layu, dan akhirnya mati.

Artinya, di dalam dan sekitar Ritus RS dan RT, ada nilai-nilai injil yang dapat membantu orang Kristen menghayati imannya. Jadi dia bukanlah sekedar adat istiadat tanpa nilai spiritual. Jika demikian, pertanyaan besar yang selanjutnya dapat diajukan adalah kekayaan macam apa yang ada dalam Ritus RS dan RT itu yang dapat membantu kita menghayati iman dalam Yesus Kristus ?

E. Idea dalam Ritus Alkitab: Implikasi teologis dalam Konteks RS/RT

Menurut sosiologi, agama adalah gabungan dari tiga unsur secara integratif yaitu Mitos, Ritus dan Etos. Ritus dilaksanakan sebagai aktualisasi mitos tertentu dan menentukan etos manusia yaitu cara berfikir dan cara bertindak manusia dalam kesehariannya. Di sini saya menonjolkan satu tokoh yang cukup lama bekerja di Indonesia yaitu Clifford Geertz tentang simbol-simbol sakral termasuk ritus-ritus agama yang tergambar dari judul salah satu essay dalam bukunya “Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan”. Kebudayaan dipahaminya sebagai suatu pola makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap mereka terhadap kehidupan. Dalam konteks religius, simbol-simbol itu – antara lain ritus-ritus – merupakan sintesa antara etos dengan worldview sebuah komunitas. Etos adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan, gaya hidup, moral, serta suasana hati. Sedangkan worldview adalah gambaran atau gagasan-gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dalam worldview, manusia tidak hanya sekedar menggambarkan apa yang ada dan terjadi di alam semesta, lalu mengambil inisiatif untuk melakukan sesuatu sebagai apresiasi terhadap apa yang ada dan terjadi di sana, tetapi juga mengandaikan sesuatu yang seharusnya terjadi disana, lalu membungkus sekaligus mengaktualisasikannya secara simbolik melalui ritus-ritus.

Ditegaskan bahwa agama bukan sekedar metafisika belaka dan juga bukan persoalan-persoalan etika belaka. Jika agama hanya dipahami sebagai sebuah metafisika saja, maka worldview manusia-manusia yang hidup dalam bingkai sistem religius itu dapat diabaikan. Kehidupan religius hanya bergantung pada “apa yang diwahyukan” dan “respon manusia terhadap wahyu itu” tanpa ada kena mengena dengan cara pandang mereka terhadap realitas dan situasi real yang mereka hadapi. Dan jika agama hanya dilihat dari sudut pandang etika saja, maka kita akan jatuh ke dalam paradigma fungsionalisme -yang ditentang Geertz- yang melihat agama hanya sekedar sebagai suatu fakta sosial tanpa pertalian dengan kenyataan yang transenden. Namun dengan menerima sintesa keduanya kita akan memahami sebuah sistem religius secara lebih komprehensif dan memahami setiap simbol-simbol sakral yang memiliki makna mendasar dalam kehidupan mereka serta membentuk sebuah tatanan budaya suatu masyarakat yang mempengaruhi cara berfikir dan cara bertindak mereka.

Teori Geertz ini kemudian dipakai oleh dua pakar biblika yaitu Frank F Gorman dan Samuel Balentine. Dikatakan bahwa semua ritus adalah bentuk drama sosial, karena itu analisis terhadap ritus menuntut seorang penafsir untuk mengungkap worldview yang ada dibalik ritus tersebut, baik yang dibangun oleh ritus maupun yang diaktualisasikan dalam ritus tersebut. Dengan bantuan paham dasar itu, Gorman dan Balentine berhasil mengungkap idea dibalik ritus korban dengan prinsip “Ritus adalah aktualisasi Worldview Alkitab dan melebur dalam tatanan sosial”.

Salah satu hal yang sangat penting dari worldview yang diungkap adalah kepercayaan bahwa langit dan bumi merupakan suatu tatanan yang diletakkan Allah dalam melalui sebuah ritus penciptaan. Proses itu berangkat dari sebuah keadaan awal yang belum terbentuk dan kosong; gelap gulita meliputi samudera raya (Kej 1:2). Suasana itu dapat digambarkan sebagai ketidakteraturan, kekacaubalauan dan bercampur baur, yang kemudian sering diungkapkan dengan istilah khaos. Selanjutnya proses penciptaan terjadi dalam suatu rangkaian yang sangat sistematis berupa pemisahan dan pembedaan serta dilakukan melalui perkataan dan tindakan Allah.

Rangkaian sistematis itu bisa ditemukan dalam pola berulang dalam enam hari penciptaan. Aktifitas penciptaan pada hari pertama berhubungan hari ke empat. Hari kedua berhubungan dengan hari kelima. Hari ketiga berhubungan dengan hari keenam. Pada hari pertama Allah memisahkan antara terang dan gelap (Kej 1:4). Pemisahan ini kemudian dipertegas pada hari keempat, dimana Allah menciptakan penguasa terang dan gelap yaitu matahari, bulan dan bintang. Hari kedua, Allah memisahkan air diatas cakrawala dan yang dibawah cakrawala (Kej 1:7). Pada hari kelima allah menciptakan burung yang melintasi cakrawala dan ikan-ikan di dalam air. Pada hari ketiga, Allah memisahkan laut dan darat (Kej 1:10) dan menumbuhkan segala jenis tumbuh-tumbuhan. Hari keenam, diciptakanlah binatang-binatang darat. Juga pada hari keenam diciptakanlah manusia menurut gambar dan rupa Allah untuk berkuasa terhadap semua ciptaan dari hari keempat sampai keenam, tetapi tidak untuk ciptaan pada hari pertama sampai ketiga.

Hasil dari proses pergerakan dari kekacaubalauan menjadi tatanan dan keteraturan itu merupakan sesuatu yang baik, bahkan sangat baik. Namun keadaan itu harus tetap dipertahankan agar tidak kembali kepada khaos. Proses itu dapat dilakukan melalui pemeliharaan (maintenance) dan juga perbaikan (restoration). Kejatuhan manusia ke dalam dosa menyebabkan tatanan ciptaan menjadi rapuh dan potensi kembalinya kepada khaos semakin besar. Dalam hal inilah peranan manusia sebagai gambar dan rupa Allah untuk menjadi co-creator untuk menjaga ciptaan agar tetap – sedapat mungkin – dalam keadaan baik dan indah. Puncak dari semuanya adalah Sabat, hari ketujuh.

Dengan demikian kita dapat menarik suatu simpulan tentang worldview tradisi imam yang menggambarkan dunia sebagai hasil pergerakan dari sebuah ketidakteraturan yang diubah Allah menjadi tatanan yang sarat dengan harmoni di dalam sebuah liturgi penciptaan: langit/bumi, terang/gelap, siang/malam, darat/laut, binatang/manusia, yang menguasai dan dikuasai. Allah menciptakan wadah yang teratur selama tiga hari dan mengisi wadah itu selama tiga hari berikutnya. Perkerjaan itu telah diselesaikan pada hari ketujuh. Semuanya dalam keadaan baik dan indah. Namun harmoni atau keteraturan itu dapat kembali kepada khaos. Karena itu harus tetap dipelihara dan dipertahankan (keep in tune). Pemeliharaan itu menempatkan manusia sebagai partner Allah karena manusia diciptakan dan diberi wewenang serta tugas untuk memelihara alam semesta untuk menuju sabat. Mindset teologi penciptaan dalam tujuh hari merupakan suatu gambaran tentang hidup orang Israel yang bekerja sepanjang perjalanannya menuju sabat yang kekal. Proses itu terus dijalani manusia dalam sebuah proses creatio continua, dan dimungkinkan dengan berhasilnya satu mindset Yahudi brilian yang mempengaruhi dunia yaitu sistem penanggalan dalam siklus sabat.

Disinilah teologi ritus dengan segala pernak-perniknya mengambil peran. Melalui ritus korban ada pengakuan dan pengagungan terhadap TUHAN sebagai pencipta tatanan yang di dalamnya ada harmoni antara TUHAN dengan manusia dan manusia dengan sesamanya. Ritus korban juga merupakan simbol dari upaya untuk memperbaiki harmoni ciptaan yang dianggap terancam karena pelanggaran manusia. Berikut beberapa pokok penting :

1. Tujuh, sabat

Hal pertama yang memperlihatkan keterkaitan ibadah dengan tatanan penciptaan adalah dominannya angka tujuh yang bisa ditemukan dalam berbagai aturan, baik yang berkaitan langsung dengan ritus korban, maupun tuntunan moral dan etika yang bisa diperiksa dalam aras tekstual.

Aturan-aturan yang berkaitan dengan ritus korban dengan dominasi angka tujuh, pertama-tama bisa dilihat dalam proses pembangunan Kemah Suci. Kemudian laporan eksekusi Musa terhadap perintah itupun senantiasa diakhiri dengan kalimat “seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa” sebanyak tujuh kali, dan diakhiri dengan kalimat “Demikianlah diselesaikan Musa pekerjaan itu” (ay 33). Selanjutnya, instruksi pelaksanaan ritus korban di Kemah Suci juga diberikan dalam tujuh perintah. Lalu ada ritus pemercikan darah di depan tabir penyekat tempat kudus yang dilakukan tujuh kali (Im 4:6-7) pada ritus Ha††ä´t, pemercikan darah di atas dan depan tutup pendamaian pada ritus yôm KiPPùr dilakukan tujuh kali (Im 16:14-15). Ritus penahbisan para imam mengikuti tujuh instruksi TUHAN dengan masa pelaksanaan penahbisan yaitu tujuh hari. Diagnosa dan ritus pemulihan dari berbagai kenajisan yang diuraikan dalam pasal 11-15, juga di dominasi dengan perhitungan tujuh hari.

Dominasi tujuh-tujuh juga banyak ditemukan dalam uraian tentang hukum kekudusan yang berkaitan dengan masalah etika dan moral, antara lain penetapan tujuh hari raya dalam setahun (Im 23) di mana setiap hari raya masih diwarnai dengan penghitungan tujuh-tujuh; kemudian ada pengaturan tujuh tahun masa penggarapan tanah dan terakhir adalah penghitungan tujuh kali tujuh tahun untuk tahun Yôbël (Im 25). Gerald A. Klingbeil memeriksa identifikasi tujuh-tujuh ini dalam konteks narasi PL yang lebih luas dan menemukan bahwa identifikasi ini muncul 85 kali dalam PL. 82 persen diantaranya dipakai dalam konteks kultis.

Ada apa dibalik angka tujuh dalam worldview ritus itu ? Terhadap hal ini, tidak ada yang meragukan lagi sebagai idealisme yang mengacu secara ketat kepada tujuh hari penciptaan dengan sabat sebagai puncaknya. Hal itu mengimplikasikan suatu keyakinan bahwa semua tindakan manusia, baik dalam ritus maupun dalam kehidupan sosial, merupakan suatu apresiasi dari penciptaan secara terus menerus (creation continua). Apapun yang dilakukan orang Israel, baik dalam konteks ibadat maupun dalam kehidupan sosial dianggap memiliki suatu kapasitas sebagai world construction.

2. Ritus Korban Sebagai Pemeliharaan Tatanan

Poin ini akan secara khusus menyoroti hakekat dari kelima jenis korban seperti yang diuraikan liturgi ritus-ritus dengan klasifikasikan dalam tiga pokok utama. Pertama, korban merupakan aktualisasi dari kesadaran akan adanya harmoni antara Allah dan manusia serta antara manusia dengan ciptaan yang lain. Manusia sebagai ciptaan, sepenuhnya tergantung kepada TUHAN sebagai pencipta. Keadaan ini menuntut suatu pengakuan dari manusia. `Olâ dan minHâh yang merupakan pemberian (gift) kepada TUHAN dimasukkan dalam kategori ini, yang mencerminkan keyakinan bahwa segala sesuatu adalah milik TUHAN yang diciptakan dengan sungguh amat baik. Materi dari korban yang tidak boleh bercela merupakan ekspresi dari pengakuan bahwa segala yang diciptakan merupakan suatu hal yang sungguh amat baik. Keadaan-keadaan yang dipandang tidak mencerminkan lagi ciptaan yang sungguh amat baik, tidak boleh terlibat dalam ritus, bahkan dianggap sebagai hal yang dalam lingkungan sosial sekalipun merupakan hal yang tidak tidak kudus, haram, menjijikkan, atau najis.

Yang kedua, korban merupakan aktualisasi dari adanya kesadaran bahwa tatanan (order) ciptaan bisa kembali kepada suatu keadaan yang kacau (disorder). Karena itu perlu senantiasa diadakan pemeliharaan agar tatanan itu tetap terpelihara. Indikator dari terpeliharanya tatanan itu adalah adanya harmoni antara TUHAN dengan manusia dan manusia dengan manusia. Ritus korban yang masuk dalam kategori ini adalah zeºbaH šülämîm sebagai korban persekutuan yang bisa diandaikan dengan jamuan makan ilahi, ketika TUHAN dan manusia disimbolkan sedang makan dari materi yang sama. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa TUHAN ikut makan, namun tindakan simbolis dalam pemberian leºHem ini hendak menggambarkan suasana yang sukacita dan sebagai simbol harmoni. Dalam prakteknya, hal ini dilakukan untuk menampik bencana dari luar.

Dan ketiga, korban merupakan aktualisasi dari adanya kesadaran bahwa aktifitas pelanggaran manusia, entah disadari atau tidak, akan menimbulkan suatu disorder. Pelanggaran itu bukan hanya berkaitan dengan hal-hal yang berkenaan dengan tempat kudus, tetapi juga pelanggaran yang terjadi dalam kehidupan sosial. Semuanya dipandang sebagai ancaman bagi komunitas dan tatanan dunia. Karena itu dibutuhkan suatu ritus pemulihan. Di sinilah kita bertemu dengan dua jenis ritus korban yaitu Ha††ä´t dan ´äšäm, yang dapat berfungsi sebagai suatu perbaikan (restoring) terhadap tatanan yang terancam karena pelanggaran manusia.

Hal-hal di atas memperlihatkan suatu hal yang fenomenal bahwa bagi orang Israel, ritus korban dan berbagai aturan yang menyertainya, pada satu sisi sangat dipengaruhi oleh idealisme tentang tatanan penciptaan langit dan bumi termasuk tatanan sosial sebagai suatu hal yang harus dijaga dan dipertahankan. Pada sisi lain, berada dalam suatu proses penciptaan berkelanjutan yang senantiasa mengarah pada harapan terciptanya suatu tatanan yang sarat harmoni sebagai pengandaian keadaan dunia ideal yang “sungguh amat baik”. Penciptaan berkelanjutan itu bukan dengan mengganti yang ada dengan sesuatu yang baru, tetapi memelihara dan membaharui yang ada. Makanya Gorman lebih suka memakai istilah continual-renewal and maintenance sebagai ide yang mewarnai semua ritus korban.

3. Korban dalam Totalitas Eksistensi Manusia

Cukup banyak klaim yang menganggap bahwa ritus korban dalam Alkitab tidak berkaitan dengan hal-hal etis dan moral. Seakan-akan dengan menyiapkan dan mempersembahkan korban, masalah selesai. Saya kira klaim seperti itu muncul karena orang membaca ritus setelah menyimak kritik-kritik dalam tradisi profetik terhadap ibadat korban. Di berbagai kitab, para nabi berteriak dan mengecam segala bentuk ritus-ritus dan seolah menganggapnya sampah. Contoh Hosea 6:6 “Sebab Aku menyukai Kasih setia dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah lebih dari pada korban-korban bakaran”; Yesaya 1:10-13 (bertobat lebih baik dari mempersembahkan Korban); Amos 5:21-27 (Ibadah Israel dibenci Tuhan). Sikap para nabi yang cenderung anti-korban bukan karena kegagalan sistem korban an sich, tetapi kegagalan orang Israel dalam mengoptimalkan sistem korban sebagai sarana pertemuan mereka dengan TUHAN. Itupun harus diperiksa dengan saksama, apakah memang praktek korban yang dikritik para nabi merupakan pelaksanaan dari ritus korban yang persis seperti yang diuraikan dalam Imamat.

Hal di atas berkaitan dengan keraguan bahwa adakah dimensi etis dan moral dalam ritus korban ? Jika kita membaca kitab Imamat dan berhenti pada pasal 16, maka memang agak sulit untuk menemukan dimensi etis dan moral dalam sistem korban. Namun tuntutan yang diberikan dalam Holiness Code (Im 17-27) yang merupakan bagian integral dari sistem korban, akan menjadi antitesis terhadap pandangan demikian. Penelusuran kita terhadap ritus korban dan hukum kekudusan secara keseluruhan menunjukkan bahwa pada satu sisi, seluruh aspek kehidupan manusia (orang Israel), terikat dengan sistem korban itu. Dan pada sisi lain, sistem korban juga berkaitan dengan eksistensi manusia dalam kesehariannya. Artinya, dalam ritus korban, ada apresiasi mendalam terhadap pentingnya harmoni, bukan hanya antara TUHAN dengan manusia (dimensi vertikal), tetapi juga antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya (dimensi horisontal). Eichrodt menempatkannya dalam teminologi inward dan outward. Inward berkaitan dengan ibadat dan ritus-ritus , sedangkan outward menyangkut interaksi sosial dan sikap moral. Jadi kritik nabi tertuju pada kekosongan dimensi outward dari ritus korban, dan menjadikan ritus itu sebagai formalitas belaka. Itulah biang seruan para nabi.

4. Ide Korban dan Perjanjian Baru

Terkait dengan Perjanjian Baru, ritus-ritus korban tidak lagi mendominasi ibadah. Para ahli menilai bahwa ritus-ritus korban sudah mulai jarang dilakukan pada masa-masa pembuangan karena bait suci telah hancur. Pada masa itu didirikanlah sinagoge sebagai perkumpulan (berikut tempatnya) untuk mempelajari Taurat. Bait suci memang sudah dibangun, tetapi persembahan korban di sana tidak lagi seperti pada masa sebelum pembuangan. Apalagi setelah Kaisar Roma menghancurkan Bait suci pada tahun 70 masehi, persembahan korban sudah hampir tidak ada lagi.

Kehadiran Yesus Kristus di tengah jarangnya ritus korban, ternyata tidak juga menghindarkan dia dari situ. Ritus Yahudi dilakukan atas Dia. Dan perayaan hari raya Yahudi juga dilakukannya. Jadi Pada prinsipnya Yesus tidak pernah menolak ritus korban. Yang lebih banyak ditekankan adalah unsur outward dari ritus korban (Mat 5:23-24. Jadi Yesus hadir disaat ritus-ritus semakin jarang dilakukan. Entah bagaimana jadinya seandainya Dia hadir ketika korban masih intens dilakukan.

Namun pada sisi lain, kematian Yesus Kristus tidak bisa dipisahkan dari worldview korban. Sebutan Anak Domba Allah, Darah dan Daging, Penebus Dosa, Peranan Imam. Memang berbagai sudut pandang bisa diajukan, termasuk sudut pandang Politik bahwa Yesus mati dalam sebuah ketegangan politik. Namun memahami Alkitab secara sederhana dalam satu keutuhan antar perjanjian tidak akan mampu menghindakan kita dari mind set ritus sebagai benang merahnya.

Rasul Paulus pun tidak banyak bicara mengenai ritus. Namun yang jelas, dia pernah melakukannya yaitu melakukan Persembahan untuk pentahiran selama 7 hari Kis 21:26-27). Meneladani Yesus, dan Rasul Paulus lebih banyak menekankan unsur outward dari ritus. Entah bagaimana jadinya seandainya Dia hadir ketika korban masih intens dilakukan.
Fokus penggumulan Yesus dan Rasul Paulus terkait dengan ritus warisan pendahulu adalah keprihatinan terhadap berubahnya holiness code, yaitu kewajiban etika moral sebagai bagian integral dari ritus, menjadi politic of holiness lalu menanamkan politic of compassion yang memang menjadi salah satu karakter holiness code. Jadi sekali lagi, seandainya ritus-ritus masih intens dilakukan, maka tentu pemberitaan dan pengajaran Kristus dan Para Rasul juga akan menjadi lain.

Implikasi Teologis Untuk berteologi dalam konteks Ritus

Berangkat dari teori sosial dan penafsiran terhadap teks korban, saya telah berupaya menunjukkan worldview dalam Alkitab dan aktualisasinya dalam ritus. Sekarang pertanyaan besarnya adalah : Apa worldview ritus RS/RT yang dilakukan sebagai aluk simuane tallang silau’ eran dalam aluk to dolo ?

Mengenai hal ini, bisa ditelusuri dari dua arah. Pertama, memanfaatkan studi-studi perbandingan agama-agama oriental dan mengendus jejak-jejak agama-agama tersebut, terutama yang berasal dari Cina, India dan daerah-daerah Asia Barat Daya Kuno. Jika hal itu menghasilkan catatan mengenai hubungannya dengan aluk to dolo, maka pekerjaan kita lebih mudah. Tinggal merujuk worldview tetangga. Namun hal itu diluar wilayah konsetrasi dan pembahasan saya. Yang kedua dan berhubungan dengan hal pertama di atas, kalaupun jejak itu ditemukan, namun worldview di balik ritus RS/RT tentu sesuatu yang khas aluk todolo, dalam menafsir kenyataan yang mereka hadapi sendiri melalui dialektika eksternalisasi, obyektifikasi dan eksternalisasi seperti usulan Piter L. Berger (yang banyak membuat teolog protestan marah). Jadi dia tetap menjadi penelitian yang bisa berdiri sendiri.

Dalam tugas ini peringatan Geertz, Gorman dan Balentine sebaiknya kembali disebut
“Semua ritus adalah bentuk drama sosial, karena itu analisis terhadap ritus menuntut untuk mengungkap worldview yang ada dibalik ritus tersebut, baik yang dibangun oleh ritus maupun yang diaktualisasikan dalam ritus tersebut”.

Jadi untuk bisa berteologi dalam konteks Ritus RS/RT, kita harus menjawab pertanyaan besar ini. Masalah kita bukan hanya sekedar : apa makna ma’balik, mangriu’ batu, ma’parokko alang, ma’palao, mantunu, massabu kaburu’, merok, ma’bua’, ma’tarampak, mebonglo’, manglelleng, ma’patassu’ kayu. Tetapi mengapa makna itu muncul ? Jika hanya sekedar makna yang direintepretasi, maka ada dua kecenderungan yang bisa muncul. Yang pertama adalah “perampasan” yang bisa jadi berkesan vandalis. Yang kedua adalah cocoklogi. Makna hanya sekedar dicocok-cocokkan. Akibatnya pengakaran tetap gagal. Apa yang telah terjadi atas ritus-ritus RS/RT selama ini dengan pelucutan aluk dari adat, tidak pernah menyentuh makna, apalagi worldview. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis.

Menghadapi situasi itu, sudah bukan saatnya untuk saling menuding dan mempertahankan diri. Kita punya pekerjaan besar sekarang ini yaitu mengungkap worldview dibalik ritus RS/RT lalu mendialogkannya dengan nilai-nilai iman Kristen. Namun kita perlu meletakkan batasan, Ritus RS/RT mana yang hendak diintepretasi. Ketika sudah liar dan genit, atau ketika masih berada dalam kesatuan aluk ? Tentu kita memilih yang kedua. Dan justru dengan reintepretasi terhadap nilai dalam ritus yang masih menyatu dengan aluk, kita bisa mengkritik dan mengobati yang sudah liar dan genit.

Untuk itu ijinkan saya mencoba mengajukan hipotesis mengenai worldview dibalik ritus RS/RT yang telah membentuk pranata sosial orang Toraja sejak dulu dan bagaimana worldviw itu diaktualisasikan. Hipotesis ini diangkat dari sebuah tesis berjudul “Pertemuan Dialogis Ritus Korban dalam Kitab Imamat dan Budaya Toraja. Tetapi lebih baik saya menjadikannya hiptesis saja karena dalam seminar ini kita semua diberi ruang untuk memberikan refleksi, tentu secara bertanggungjawab. Bisa jadi saya diklaim membaca Budaya Toraja berdasarkan kacamata Biblika, atau membangun Teologi Biblika berdasarkan Budaya Toraja. Hal itu bisa saja terjadi, sejauh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dalam sebuah litani aluk bua’ sering didengungkan pernyataan berikut : To nariakan tangkean suru’, to natetangan lindo sara’ka ? Apa maksudnya ? Mengapa sisir yang jadi pengandaian ? Satu kata ini membawa saya kepada dua tokoh Aluk To Dolo. Ne’ Banaa di sesean dan Tominaa Sando Tato’ Dena’ di Makale. Lalu didapatkanlah data ini : Orang Toraja memandang alam semesta ini sebagai tatanan yang setara seperti rambut yang ditata rapi. Dari sini hadirlah ungkapan : Karapasan-harmoni. Hubungan antar unsur-unsur didalamnya terjalin sedemikian rupa. Namun aktifitas manusia mulai dari lahir sampai mati, berpotensi besar untuk mengganggu karapasan, atau minimal tidak menemukan karapasan. Anggapan ini kemudian teraktualisasi dalam segenap kenyataan sosial orang Toraja dalam bingkai aluk sola pemali yang sedikit merancukan dari teori Durkheim mengenai yang sakral dan profan. Bagi orang Toraja, tidak ada yang profan. Atau minimal, kehidupan profan pun memiliki dimensi sakral. Mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah semuanya terkait kesakralan. Dengan adanya karapasan, maka terbuka kesempatan bagi lolo tau, lolo tananan dan lolo patuoan untuk berkembang. Kalau ada yang tidak beres, ada yang dilanggar. Lakukan ritus, massuru’. Namun dalam hal ini suru’ tidak hanya terkait dengan kesalahan dan pelanggaran, tetapi juga harus dilaksanakan dalam karapasan mengandung dimensi pengharapan akan terbitnya karapasan atau juga mengapresiasi karapasan. Semuanya diikat dalam aluk sola pemali yang dalam hipotesa di atas, berlatar belakang sebuah pengandaian, sekaligus terarah pada terciptanya karapasan, atau harmoni. Baik antara manusia dengan yang ilahi, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya.

Jika kita menerima bahwa pandangan itu sebagai salah satu worldview orang Toraja yang kemudian teraktualisasi dalam ritus RS/RT, maka pertanyaannya sekarang adalah apakah ritu-ritus itu masih dilaksanakan sebagai apresiasi terhadap karapasan, dilaksanakan dalam karapasan sekaligus terarah pada tercipta dan terpeliharanya karapasan ? Tampaknya bisa muncul implikasi pastoral dan menjadi sumber kritik terhadap ritus-ritus yang sekarang ini masih dijalankan lengkap dengan klaim liar dan genitnya. Pertimbangan pastoralnya bukan pertama-tama dari Alkitab, namun justru dari idea di balik ritus. Apakah kegenitan dan keliaran itu masih menjunjung karapasan ? Apakah Ritus RS masih dilaksanakan karena apresiasi karapasan yang memungkinkan anak to mate bisa membeli Saleko ? Apakah pelaksanaan Ritus RS masih diwarnai karapasan ? Atau jangan-jangan sebaliknya bahwa Ritus RS telah membawa perpecahan. Jika itu terjadi maka telah terjadi penghianatan terhadap nilai Rambu Solo’. Orang Toraja harus menyadari hal itu. Penyadarannya bukan dengan berondongan ayat Alkitab dan keputusan persidangan Gereja, tetapi justru dari mengedepankan argumentasi-argumentasi dari Ritus RS/RT itu sendiri setelah mendialogkannya dengan Firman Tuhan melalui dinamika konfirmasi dan konfrontasi.

F. Catatan Akhir Sebagai Catatan Awal Untuk Lokakarya

  1. Suara Kenabian terhadap hilangnya karapasan dari Ritus RS/RT merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Harmoni yang berasal dari woldview yang sejak semula diaktualisasikan dalam Ritus RS/RT, harusnya menjadi bagian dari perencanaan-perencanaan pastoral Gereja, khususnya menghadapi ritus-ritus tersebut. Tentu dengan rumusan pengertian karapasan yang asasi. Bukan yang semu karena laten terhadap karapasan telah dibungkam oleh waktu dan kepentingan.
  2. Kita harus meletakkan sebuah prinsip bahwa adalah wajib bagi semua yang mengambil bagian dalam kehidupan menggereja dan kehidupan sebagai orang Toraja untuk memahami nilai-nilai luhur dalam ritus-ritus orang Toraja. Masalahnya adalah pelaku-pelaku ritus sendiri sudah tidak mengetahui makna dibalik semua simbol kecuali dengan argumentasi bahwa sudah demikianlah kebiasaan yang ada. Tidak ada alasan untuk mengatakan itu bukan wilayah Gereja. Terbitnya Panduan Pelayanan RS dan RT adalah pokok-pokok utama. Detailnya ada di lapangan karena setiap daerah memiliki tata cara dan aturan masing-masing.
  3. Sudah bukan saatnya lagi untuk membedakan Aluk dengan Adat. Seharusnya terjadi bahwa upacara adat itu menjadi wadah bagi orang toraja untuk menikmati Kasih Kristus yang dapat untuk mewujudkan damai sejahtera. Ritus RS/RT masih dilakukan (sebagian) tetapi tanpa aluk lagi. Pantas menjadi genit. Saatnya orang Toraja melakukan semuanya sebagai Aluk, dimana didalamnya manusia Toraja berjumpa dengan kasih Kristus.
  4. Lebih lanjut dari dari poin 3, Pelayanan gerejawi tdak boleh hanya sekedar sampul, bingkai, atau lampiran demi sahnya acara sebagai milik orang Kristen. Mungkinkah semua rangkaian dalam Rambu Solo’ dilaksanakan sebagai ibadah, sambil menjaga agar perampasan nilai tidak terjadi karena itu berkekuatan merusak. Dialog antara kedua nilai secara berimbang harus terjadi, sejauh tidak menyangkali hakekat dan karya Allah Tritunggal.
  5. Visi Gereja Toraja dan Visi Aluk Todolo tampaknya sejalan. Ini peluang dari titik paling dasar untuk berteologi dalam konteks Ritus RS/RT.

Tangmentoe 22 Juli 2014


Diposting tanggal 23 Mar 2016

Daftar Artikel

2 Petrus 3:8-18 menjelaskan tentang pergumulan orang Kristen sehubungan dengan kedatangan Yesus, men.....

Selengkapnya ..

Perikop ini menguraikan bahwa Maria memuji Allah karena perkara besar yang ia telah terima dari Alla.....

Selengkapnya ..

Hana mengalami penderitaan batin akibat penghinaan dari Penina karena kemandulannya. Namun Hana tak .....

Selengkapnya ..

Ketika Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai “air sumber kehidupan”, orang-orang Farisi .....

Selengkapnya ..

Salah satu sifat Tuhan adalah adil. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dalam pengabdian Yesus terha.....

Selengkapnya ..

Dalam Perjanjian Lama, Allah berbicara kepada umat melalui para nabi, tetapi pada Perjanjian Baru, T.....

Selengkapnya ..

Firman Tuhan yang kita baca hari ini menegaskan perbedaan antara orang yang beribadah dengan yang ti.....

Selengkapnya ..

Bacaan firman Tuhan hari ini mengisahkan perstiwa di Yeriko, di mana Elisa dipakai oleh Tuhan untuk .....

Selengkapnya ..

Dalam Yehezkiel 34:11-24 dikisahkan kondisi bangsa Israel saat dibuang ke Babel pada tahun 597 sM. P.....

Selengkapnya ..

Pa’basanta totemo umpamanassa kamengkaolanna to Ma’pudi lako Puang Matua tonna tingayo k.....

Selengkapnya ..

Persoalan dan pergumulan pernah dialami pula oleh umat Tuhan. Bangsa Israel mengalami kondisi yang s.....

Selengkapnya ..

Cari Artikel

Kategori Artikel

Bahan renungan yang dapat dijadikan bahan Saat Teduh, disadur dari tulisan para pendeta Gereja Toraja
Tampilkan Artikel Renungan Harian
Khotbah Pendeta-pendeta dalam Gereja Toraja
Tampilkan Artikel Khotbah
Humor Rohani yang dapat membuat anda tertawa dan disadur dari berbagai sumber
Tampilkan Artikel Humor Rohani
Kisah dan cerita inspiratif yang dapat dijadikan ilustrasi dalam khotbah, disadur dari berbagai sumber
Tampilkan Artikel Ilustrasi
Tulisan, Uraian, dan teks-teks, diseputar masalah-masalah Teologia
Tampilkan Artikel Teologi
Buku-buku teologi dalam bentuk digital, yang dapat menambah wawasan berteologi.
Tampilkan Artikel Literatur Digital
Bahan-bahan Khotbah Ibadah Hari Minggu, Hari Raya Gerejawi dan Ibadah Rumah Tangga Gereja Toraja yang disadur dari Buku Membangun Jemaat
Tampilkan Artikel Membangun Jemaat

Artikel Terbaru

Membangun Jemaat

Bahan Khotbah Minggu Ke-50 ...

Yohanes 1:1-9; 19-28 menguraikan bahwa dalam ayat ...

Renungan Harian

Senin, 14 Desember 2020 E ...

Kadanna Puang nakua, batta’komi lan Puang si ...

Khotbah

Memuliakan Allah Dengan Ka ...

Dalam Injil Yohanes, waktu kematian itu adalah wak ...

Teologi

Gereja Toraja dan Misinya ...

Sebagai lembaga gereja yang cukup besar di daerah ...

Literatur Digital

Doa Sang Katak 1 ...

Meskipun hati manusia merindukan Kebenaran, tempat ...

Ilustrasi

Jangan Cepat Menghakimi .. ...

Sebenarnya Pemuda Kaya ini membeli sebuah karcis k ...

Humor Rohani

Doa Yang Tulus ...

Suatu hari seorang anak sekolah minggu dengan terg ...