Gereja Toraja dan Misinya
Gereja Toraja dan Misinya
- Pendahuluan
Cikal bakal Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, pada 16 Maret 1913 dilakukan pembaptisan pertama kepada 20 orang murid sekolah Lanschap di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan Injil kemudian dilanjutkan secara intensif oleh Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang datang ke Tana Toraja sejak 10 Nopember 1913. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya.[1]
Babak baru sejarah penginjilan di kalangan masyarakat Toraja terjadi pada persidangan Sinode I yang berlangsung 25 – 28 Maret 1947 di Rantepao. Hasil Sinode I yang dihadiri 35 utusan dari 18 Klasis tersebut, memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama “Gereja Toraja.”[2]
Gereja Toraja masuk dalam golongan gereja suku, sebab Gereja Toraja berdiri atas persekutuan kesukuan yaitu suku Toraja dan berpusat di Toraja. Pengakuan Gereja Toraja hampir sama dengan Pengakuan Gereja-gereja yang lain tetapi ada kekhususan yang ingin ditonjolkan, dalam arti bahwa melalui Pengakuannya Gereja Toraja ingin mencerminkan akan jati dirinya sebagai Gereja dan sebagai masyarakat Toraja yang tidak terlepas dari adat dan budayanya. Untuk itulah Gereja Toraja merumuskan sendiri Pengakuannya yang juga tidak lepas dari Pengakuan yang bernama “Tiga Naskah Keesaan”, yaitu Katekismus Heidelberg, 37 Fasal Pengakuan Gereformeerd dan Lima Doktrin Dordrecht. “Tiga Naskah Keesaan” inilah yang menentukan jati diri Gereja Toraja sampai tahun 1981. Walaupun dalam kenyataannya Gereja Toraja sendiri belum memahami secara tepat jati dirinya.
Namun ada kekhususan pada Gereja Toraja, yaitu Pengakuannya dalam bentuk PGT dan ketorajaannya. Jati diri Gereja Toraja diwarnai oleh Pengakuannya yang berorientasi kepada jati diri di dalam YesusKristus.Gereja Toraja menampakkan jati dirinya dalam ketaatannya kepada Yesus Kristus yang diamalkan dalam ketorajaannya (berintgrasi dengan budaya Toraja). Itulah makna inkarnasi (Yoh.1:9-11). Dan Keberadaan Gereja Toraja berdasarkan keterpanggilannya, keterpilihannya dan kekudusannya untuk menjadi berkat bagi dunia (Kej.12:3). Di tengah-tengah dunia dan untuk dunia inilah Gereja Toraja harus mengamalkan jati dirinya berdasarkan kasih Allah yang menyelamatkan.
Masalah lain yang cukup menantang ialah bagaimana sikap Gereja Toraja yang benar, baik dan tepat terhadap adat-istiadat dan kebudayaan Toraja. Tantangan eksternal yang segera dihadapi Gereja Toraja yang relatif masih muda dan serba terbatas itu antara lain adanya pergolakan DI/TII pada tahun 50-an.[3] Pada saat itu warga Gereja Toraja cukup menghadapi tantangan disatu pihak, dipihak lain pertumbuhan jumlah anggota Gereja Toraja cukup drastis. Tetapi karena kurangnya tenaga pelayan, maka banyak orang Toraja yang menjadi Kristen tidak terbina sebelumnya dan kurang terlayani secara baik sesudah menjadi anggota Gereja Toraja. Akibatnya kualitas iman Kristiani menjadi memprihatinkan. Sementara di zaman Orde Baru, di satu pihak perkembangan Gereja Toraja secara kuantitatif dan penyebaran wilayah pelayanan cukup besar. Tetapi dilain pihak, warga Gereja Toraja sebagai bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia ikut tertulari oleh berbagai penyakit sosial saat itu. Salah satu masalah besar yang dialami masyarakat Indonesia di era Orde Baru adalah terjadinya kesenjangan sosial ekonomi antar masyarakat Indonesia. Keadaan ini berdampak pula bagi pertumbuhan Gereja Toraja yang tidak merata disegala bidang. Akibatnya warga gereja dan wilayah pelayanan Gereja Toraja sangat bervariasi.
Dalam perjalannnya Gereja Toraja tidak bisa menutup mata terhadap beberapa agama yang juga berkembang di Toraja dan di luar Toraja dimana Gereja Toraja berjemaat. Tidak sedikit pengalam Gereja Toraja berjumpa dengan beberapa agama lain. Realitas ini merupakan tantangan tersendiri bagi Gereja Toraja sebagai lembaga Gereja yang merwatakan Kabar Baik dari Allah. Perkembangan agama lain di Toraja sendiri cukup menggelisahkan jemaat Gereja Toraja dalam berinteraksi satu sama lain. Bukan hanya dalam berkehidupa bermasyarakat pun juga dalam berinteraksi dalam ranah teologi. Oleh karena itu Gereja Toraja sebagai lembaga gereja harus mengikuti arus perkembangan agama lain dan bergandengan itu secara terus menerus merumuskan kembali teologinya tentang perjumpaan dengan agama-agama lain.
- Perkembangan teologi Gereja Toraja tentang Misinya
Sebagai lembaga gereja yang cukup besar di daerah Sulawesi, Gereja Toraja dalam perjalanannya sudah beberapa kali merumuskan kembali ajarannya dan teologinya tentang kepelbagaian agama. Konsultasi-konsultasi dalam kalangan Gereja Toraja sering dilakukan demi memperluas wawasan teologinya agar tak terlindas oleh zaman dan perkembangan agama-agama lain.
Gereja Toraja yang adalah lembaga dan mempunyai aturan tersendiri dalam mengelolah jemaatnya dan juga mempunya standar tersendiri untuk merumuskan teologi yang diajarkan. Ada Pengakuan Gereja Toraja dan Tata Gereja Gereja Toraja sebagai titik pijak Gereja Toraja (PGT dan TGT) dalam melaksanakan misinya. Di dalam kedua aturan tersebut Gereja Toraja juga merumuskan teologinya tentang perjumpaannya terhadap agama-agama lain.
Agama-agama dengan lembaga-lembaga keagamaan adalah penampakan kesadaran manusia tentang adanya Allah atau sesuatu kuasa di luar kehidupannya yang ia takuti dan sembah. Agama yang benar dan yang membawa kepada keselamatan ialah yang berdasarkan penyataan Allah yang khusus di dalam Yesus Kristus.[4] Dari pengakuan di atas, secara samar-samar kita bisa mengendus adanya pengakuan Gereja Toraja terhadap agama-agama lain. Namun sikap eksklusif terlihat jelas pada akhir dari rumusan tersebut di atas.
Berdasarkan PGT di atas Gereja Toraja dalam menggumuli misi pelayanannya, mencoba untuk selalu mlihat konteks kekinian yang dihadapi dari berbagai lini terlebih dalam perjumapaanya dengan agama lain. Hal itu dilakukan melalui pelaksanaan Konsultasi Misi dan PI yang telah dilakukan tiga kali selama Gereja Toraja berdiri secara struktural dan fungsional. Konsultasi PI tersebut adalah ruang dimana Gereja Toraja menggumuli tata pelayannya dalam mengahadi arus globalisasi dan tantangan-tantangan eksternal berupa perkebangan agama-agama lain.
Konsultasi Misi dan PI I Gereja Toraja diadakan di Tangmentoe pada tanggal 2-4 Maret 1972. Dalam konsultasi itu dikatakan bahwa: pertama, Injil ialah berita kesukaan mengenai segala perbuatan-perbuatan Allah mengenai Yesus Kristus. Kedua, PI dengan demikian merupakan pemberitaan segala perbuatan - perbuatan Allah itu agar segala bangsa beroleh berkat (Kej. 12: 1-3), yang dilakukan melalui pemberitaan verbal, perbuatan – perbuatan, penyucian hidup, kehidupan exemplaris dengan tujuan misioner. Ketiga, untuk memberitakan segala perbuatan Allah secara terus-menerus kepada orang-orang percaya, dipakai istilah pembinaan. Jemaat-jemaat dibina menjadi jemaat misioner.[5]dari ketiga rumusan di atas, sikap Gereja Toraja yang sangat mencerminkan sikap ekslusifnya terhadap agama lain. Hampir-hampir tidak jalan untuk berdialog dengan agama lain. Mungkin ada namun pada ujung-ujungnya kembali kepada mengkristenkan.
Konsultasi Misi dan PI II Gereja Toraja dilaksanakan di Rantepao pada tanggal 14-19 Maret 1994. Ada hal yang berbeda dari hasil Konsultasi I. Konsultasi PI II ini kemudian lebih kompleks dalam membahas persoalan Pekabaran Injil yang Universal. Dalam konsultasi tersebut dipaparkan mengenai sikap gereja menghadapi konteks sosial-budaya, pluralisme agama dan Ketuhanan yang Maha Esa, dan konteks dunia modern; globalisasi, IPTEK dan Informasi.[6] Secara umum pada konsulatasi kedua ini Gereja Toraja mulai melihat peluang dan tantangannya dalam pelayanan. Secara khusus sikap Gereja Toraja mengenai hubungannya dengan agama-agama mulai diperhatikan dan dijadikan sebagai peluang dan tantangan. Kepelbagaian agama dalam konsultasi kali ini mempunyai perhatian yang cukup serius sehingga memunculkan 10 rumusan mengenai agama-agama. Kesepuluh rumusan tersebut bisa dirangkum pada sikap Gereja Toraja yang mengakui tentang adanya kepelbagaian agama. Lewat konsulatasi ini dan pengalaman konflik umat beragama di Indonesia, Gereja Toraja secara resmi mengumumkan tentang pentingnya dilaog antara umat beragama. Dialog didasarkan atas pemaham yang positif terhadapa imannya sendiri dan kepada ajaran agama lain. Melihat agama lain secara positif adalah tawaran dialog yang disuguhkan dalam konsultasi kedua ini.
Konsultasi Misi PI III Gereja Toraja dilaksanakan pada tanggal 20-25 Mei 2005 dalam sorotan tema “Berubahlah oleh Pembaruan Budimu”. Salah satu bagian yang diperbincangkan dalam konsultasi ini yaitu mengenai Da’wah Islam dan Pluralitas Indonesia dan tantangannnya bagi Kekristenan. Materi ini dibawakan oleh Ulil Abshar Abdallah yang mengemukakan problem ”da’wah Islam di Indonesia dalam kaitan dengan Keindonesiaan,” dan Pdt. Dr. Zakaria Ngelow meresponsnya sebagai tantangan bagi Kekristenan untuk merumuskan sebuah teologi misi dalam konteks tersebut.[7] Sorotan Gereja Toraja mengenai kepelbagaian agama mendorng Gereja Toraja untuk mengembagkan perjumpaannya terhadap agama-agama lain. Dalam konsultasi kali ini Gereja Toraja menuju kepada keterbukaan terhadap agama-agama lain. Keterbukaan tersebut dirangkum dalam sikap yang inklusif atau bersifat menerima. Gereja Toraja belum mampu melampaui dari itu.
Hasil dari konsultasi Misi PI III Gereja Toraja mengahsilkan strategi PI yang tidak lagi bersifat proyek mengkristenkan namun lebih kepada mengkristuskan realitas atau menghadirkan Kristus dalam realitas. cakupan pemberitaan Injil adalah seluruh ciptaan. Pemberitaan Injil menjadi hakekat gereja justru karena Injil diperuntukkan bagi semua (Mrk. 16:15); Injil bukan hanya untuk gereja. Sebagaimana halnya seluruh mahluk (living beings) terkena kutuk dosa, demikian halnya seluruh mahluk membutuhkan penyelamatan Allah. Pernyataan ini dengan tegas menekankan perlunya gereja membuka cakrawala berpikirnya mengenai karakter holistik dari Injil, dan mengembangkan sikap inklusif dalam masyarakat, serta meningkatkan kepedulian terhadap seluruh ciptaan. PI dipahami sebagai perjuangan hidup untuk menghadirkan Kristus maka, strategi pemenangan jiwa bukan lagi sebuah pretensi yang harus dikembangkan dengan sistem proyek Pekabaran Injil, melainkan menjadi sesuatu yang terjadi dalam perjuangan menghidupi Injil, dalam hubungan aktual dengan siapapun. Menangani PI dengan sistem proyek, misalnya proyek PI untuk daerah-daerah tertentu juga harus menggunakan pendekatan tersebut di atas. Sebut saja pendekatan eksistensial; bukan pendekatan verbal.[8]
- Analisi Kritis dan Tanggapan atas Sikap Gereja Toraja Terhadap realitas Eksternal
Melihat perjalanan Gereja Toraja dalam ha perjumpaan dengan agama-agama lain, ada sebuah perubahan yang cukup berkembang yang dulunya bersifat ekslusif kemudian merujuk kepada sikap yang inklusif. Ada sikap kehatia-hatian Gereja Toraja dalam mengambil tentang hubungannya dengan agama-agama lain. Sikap inklusif menurut saya belum tepat untuk diterapkan dalam kalangan Gereja Toraja. Dikarenakan keberadaan Gereja Toraja yang berada ditengah realitas agama-agama lain. Gereja Toraja tidak hanya berada di daerah Toraja saja, namun menyebar hampir kesuluruh Indonesia bahkan sekarang ini ada yang di luar negeri yang bersatus sebagai Tempat Kebaktian Gereja Toraja.
Menurut saya sikap yang diambil Gereja Toraja dalam Konsultasi PI III adalah gambaran kongkrit yang terjadi dalam Gereja Toraja. Diman Gereja Toraja belum mempersiapkan rumusan dialog antaragama dalam internal Gereja Toraja menuju kepada tantangan eksternal. Sikap seperti ini dapa dimaklumi karena Gereja Toraja sampai sekarang ini masih mengnggap diri nyaman dalam lembaganya. Sikap seperti ini dikarenakan rasa solidaritas sesama suku Toraja yang sangat kental terjadi dalam lingkup Gereja Toraja, baik itu yang berada di Toraja maupun warga Gereja Toraja yang berada diperantauan.
Nampaknya suasana nyaman yang dirasakan Gereja Toraja dapat juga berimbas buruk bagi lembaganya sendiri. Kejadian beberapa bulan dimana warga Makassar yang berada disekita Gereja Toraja Jemaat Bawakaraeng makassar meletuskan bom molotof sebagai protesnya terhadap keberadaan Gereja Toraja dilingkungan mereka. Kejadian tersebut sangat menggempar warga Gereja Toraja. Dan dari kejadian tersebut beberapa petinggi Gereja Toraja mulai risau dengan kejadian tersebut dan kembali mempelajari hasil konsultasi PI terakhir.
Gereja toraja harusnya bergerak secara terus menerus mengkuti arus globalisasi. Bahkan kalau kita memperhatikan konsultasi PI di atas, saya justru melihat rumusan sikap Gereja Toraja mengenai kepelbagaian agama pada Konsultasi PI yang kedua lebih terbuka dibanding Konsultasi PI yang ketiga. Itu persoalan yang pertama. Persoalan yang kedua ialah bahwa tidak jarang dalam prakteknya justru hasil konsusltasi PI di atas tidak terlaksana dengan baik. Justru dalam pelayannanya Gereja Toraja yang berada jauh diluar kota dan di luar Toraja secara gencar melaksanakan PI yang bertujuan untuk mengkristenkan. Sesuai dengan pandangan Dupuis tentang dialog agama-agama bahawa dialog agama adalah perwjudan dari PI.[9] Namun dalam rumusan Konsulatsi PI III Gereja Toraja, saya tidak melihat adanya konsep dialog yang bagaiman yang akan dilakukan oleh Gereja Toraja.
Menurut Dupuis Dialog merupakan sarana untuk saling memahami satu sama lain, sehingga tidak lagi berujung pada sikap yang eksklusif yang menganggap ajaran yang satu merupakan ajaran yang paling benar.[10] Sikap yang ekslusif Gereja Toraja mungkin sudah mulai berangsur-angsur menuju kepada sikap terbuka untuk kepelbagaian agama. Dialog adalah sebuah cara dalam memperbarui gereja sebagai lembaga ketuhana dan kudus, dan tidak hanya berpusat pada lembaga tetapi juga kepada anggotanya. Dengan kata lain bahwa komitmen dasar gereja untuk berdialog tidak hanya manusia tetapi juga terutama pada teologi. Oleh karena itu dialog keselamatan bagi orang Kristen dan yang lain harus berkolaborasi dengan Roh Kebangkitan Tuhan yang hadir dan aktif secara universal.[11] Melihat konteks Gereja Toraja metode Dialog Dupuis menurut saya sangat cocok dipakai untuk berinteraksi dengan agama-agama lain.
Tantangan yang kedua yang dihadapi oleh Gereja Toraja dalam perjumpaan dengan realitas eksternal ialah ketakutan akan kehilangan identitas imannya. Ketakutan ini sangat terlihat jelas dengan pola pembinaan warga gerega Gereja toraja. Pembinaan senantiasa berpusat pada peradikalan iman tanpa melihat perkembangan eksternal. Sepakat dengan Dupuis dan Senk bahwa ketika memiliki pijakan pada Kristus tidak seharusnya takut berdialog, karena Roh Kudus menolong kita dalam berdialog.[12] Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi warga Gereja Toraja untuk takut berdialog. Dan perlu dipahami juga bahwa dalam berdialog kitapun bisa lebih memahami iman kita sendiri.
Sayapun juga sependapat dengan teologi Choan-seng Song dimana ia beranggapan bahwa gereja selama ini menjadikan dirinya sebagai sebagai pembawa kebenaran yang absolut dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Misi sering kali dianggap sebagai alat untuk mengkristenakan karena di luar kekristenan tidak ada kebenaran. Agama di luar Kristen adalah sebuah kepalsuan dan para pemeluknya sering dikucilkan dan tidak dianggap.[13] Sama halnya dengan Gereja Toraja dalam perjalanannya selama lepas dari GZB, Gereja Toraja cenderung dengan bermegah hati menyatakan bahwa di Toraja Gereja Torajalah yang memegang kebenaran yang sejati di luar Gereja Toraja tidak ada kebenaran. Sehingga agama suku yang telah ada sebelum Gereja Toraja merasa tersingkirkan dan merasa kecil hati sehingga mengurung dirinya dalam realitas sendiri. Kebanggan seperti ini kadang kala tidak disadari oleh beberapa petinggi dalam Gereja Toraja bahwa mereka telah mendiskreditkan orang lain di luar Gereja Toraja. Gereja Toraja secara lembaga harus menyadari bahwa dalam melakukan pekerjaan misi gereja tidak menggantikan Allah namun Allah sendirilah yang bekerja di dalam gereja dalam memperkenalkan akan cinta kasih Allah terhadap segala makhluk.[14]
Lebih lanjut Choan-seng Song beranggapan bahwa Allah sendirlah yang bergerak dalam setiap sejarah dan tidak hanya bergerak lurus namun melampaui setiap sejarah itu sendiri. Dalam artian bahwa Allah tidak hanya ada pada sejarah yang selama ini diklaim oleh kekristenan sebagai milik gereja, tetapi Allah bergerak melampaui, dalam bahasa Choan-seng Song adalah Allah yang bergerak ke segala arah.[15] Dari sini pun saya beranggapan bahwa teologi misi yang selama ini yang ada dalam kalangan Gereja Toraja tidak lagi relevan untuk dijadikan sebagai teologi misi yang terbuka bagi setiap orang.
Dupuis memberikan cara baru dalam berdialog dengan agama lain dengan dasar dialognya adalah cinta kasih Tuhan bagi manusia yang tidak terbatas pada agama tertentu. Dengan menjadikan cinta kasih Allah yang adalah misteri cinta Allah kepada manusia, menjadikan kita untuk terus berbagi tentang Dia yang misteri itu. Sehingga dalam dialog tidak lagi merujuk pada sikap saling menyerang satu sama lain, namun terlebih kepada pemahaman yang mendalam tentang misteri cinta yang telah Tuhan nyatakan kepada manusia yang tidak hanya terkungkung pada pemahaman salah satu tradisi agama.[16]
Konsep dialog yang ditawarkan Dupuis dan Senk serta Choan-seng Song menurut saya sangat cocok dalam kalangan Gereja Toraja yang selama ini meskipun dalam rumusan konsultasi PI III bersifat inklusif, namun dala realitas sehari-hari masih berada pada sikap yang eksklusif. Sudah saatnya Gereja Toraja kembali mengadakan Konsultasi PI IV, dimana dalam konsultasi ini yang berhungan dengan perjumapaanya dengan agama-agama lain memperhatikan tawaran model dialog dari Dupuis dan Senk dimana ada keterbukaan dan kejujuran dalam berdialog dengan agama-agama lain.[17]
- Penutup
Menutup tulisan ini sebelum lebih jauh masuk dalam dialog hal yang perlu diperhatikan adalah rumusan dialog yang ditawarkan oleh Raimundo Panikkar bahwa untuk hal yang paling mendasar dalam dialog yang diagonal adalah memandang yang lain sebagaimana adanya tanpa maksud untuk menguasai atau memberlakukanya sebagai objek yang dapat direduksi sesuai dengan keninginan subjek.[18]
Memakai teori Yang Etis Emmanuel Levinas yang rupanya dipakai Panikkar dalam dialognya, bahwa dalam perjumpaan dengan Yang Lain merupakan relasi etis yang tidak berusaha untuk menguasai Yang Lain itu. Keterbukaan terhadap Yang Lain adala hubungan etis yang dapat membawa kita kepada pemahaman terhadap diri kita sendiri dan Yang Lain tersebut. Di sini Levinas mengartikan keterbukaan kita terhadap yang lain adalah bukan hanya hubungan etis namun juga merupakan wujud tanggung jawab kita terhadap Yang Laing itu. Dalam artian bahwa keterbukaan kita terhadap Yang lain merupakan kesiapan kita untuk diusik oleh Yang Lain tersebut. Keterbukaan terhadap Yang Lain bukan berarti tunduk terhadap Yang Lain, akan tetapi terlebih kepada rasa hormat dan penghargaag kita terhadap keberlainan tersebut.[19]
Lebih lanjut, seperti yang telah disinggung sedikit di atas bahwa keterbukaan terhadap Yang lain bukanlah sebuah sikap yang tunduk namun lebih kepada tanggung jawab yang asimetris. Tanggung jawab yang harus terus menerus dilakukan tanpa menunggu balasan dari Yang Lain. Tanggung jawab yang telah diberikan Tuhan sepanjang sejarah manusia. Keterbukaan terhadap Yang Lain adalah awal dari dialog yang bersifat membangun. Dalam artian bahwa terbuka terhadap realitas yang ada di luar diri kita. Terbuka atas realitas yang juga bisa membawa kita pada kesempurnaan iman yang utuh.
Akhir dari tulisan ini harapan saya bahwa Gereja Toraja yang secara terus menrus berbenah diri dalam mempersiapkan warganya dapat mewujudkan dialog tanpa adanya ketakutan kehilangan imannya. Mengingat bahwa tantangan masa depan akan terus menerus menghampiri Gereja Toraja sebagai Lembaga Gereja yang telah diberikan Tuhan bagi orang Toraja.
[1] Disadur dari Sidang Sinode Am XXII; Lih. Th. van den End, Sumber-Sumber Zending tentang Sejarah Gereja Toraja 1901-1961, Jakarta, BPK Gunung Mulia, (1994), hlm.19
[2] Ibid. Th. van den End, Sumber-Sumber Zending tentang Sejarah Gereja Toraja 1901-1961, Jakarta, BPK Gunung Mulia, (1994), hlm. 23. Lih. Mukadimah Tata Gereja Gereja Toraja
[3] Bert Tallulembang, Sulaiman Manguling. Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja; Refleksi Seabad Kekristenan Masuk Toraja, Penerbit Gunung Sopai; Yogyakarta, 2012. Hal. 21
[4] Pengakuan Gereja Toraja Bab VII Mengenai Dunia Pasal 4 tentang Lembaga-lembaga Agama
[5] Arsip Digital - Notula Konsultasi PI I Gereja Toraja Tahun 1972
[6] Arsip Digital - Notula Konsultasi PI II Gereja Toraja 1994
[7] Arsip Digital - Notula Konsultasi PI III Gereja Toraja Tahun 2005
[8] Ibid. Arsip Digital - Notula Konsultasi PI III Gereja Toraja Tahun 2005
[9] J. Dupuis, Toward a Christian Theology ofReligious pluralism, (Maryknd, New York: Orbis Books, 1998), h.358-363
[10] Ibid. J. Dupuis, Toward a Christian Theology ofReligious pluralism, (Maryknd, New York: Orbis Books, 1998), h.365
[11] Ibid. J. Dupuis, Toward a Christian Theology ofReligious pluralism, (Maryknd, New York: Orbis Books, 1998), h.367
[12] Calvin E. Shenk, Who Do You Say That I Am: Christian Encounter Other Religions, (Scottdale: Herald Press, 1997), h. 220, 224.
[13] Choan-seng Song dalam Ebebhaizer Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Pembaharuan Kekristenan di Asia, h. 69
[14] Ibid, Choan-seng Song dalam Ebebhaizer Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Pembaharuan Kekristenan di Asia h. 71
[15] Ibid, Choan-seng Song dalam Ebebhaizer Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Pembaharuan Kekristenan di Asia h. 73
[16] Ibid. J. Dupuis, Toward a Christian Theology ofReligious pluralism, (Maryknd, New York: Orbis Books, 1998), h.374
[17] Ibid. Calvin E. Shenk, Who Do You Say That I Am: Christian Encounter Other Religions, (Scottdale: Herald Press, 1997), h.208-209, 222, 226. Bandingkan dengan model “open integrity” yang dikembangkan Gerardette Philips, Beyond Pluralism: Open Integrity As Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue, (Yogyakarta:Institut Dian/Interfidei, 2012), h.1.
[18] Raimundo Panikkar dalam, Frey Caisa dan Danang Kristiawan, Pemikiran Theologionum Raimundo Panikkar, h. 15
[19] Emmanuel Levinas dalam Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain; Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, (Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta 2012), h. 62-66
Diposting tanggal 26 Sep 2019