Mengadu Kepada Tuhan
Seorang Pengusaha diomeli sang Istri karena merasa tidak lagi disayang oleh sang suami, bahkan dituduh berselingkuh. Suami dongkol, lalu tanpa sebab yang jelas memarahi bawahan. Karena stress, sang bawahan pulang membawa kemarahan ke rumah. Masakan istri yang kelebihan garam memicu kemarahan. Tidak terima dimarahi suami namun takut melawan, anak laki-laki mereka yang pulang bermain dengan pakaian penuh lumpur, kena jewer. Ketika dengan kesal menuju kamar mandi, seekor anak anjing menghalangi langkah si anak. Dengan geram, anak anjing itu disepak seperti bola, lalu terlempar menimpa sebuah guci lalu pecah berantakan.
Kira-kira sampai kapan efek kemarahan itu mengakibatkan banyak masalah ? Bisa jadi satu RT menjadi ribut, padahal sumber masalahnya adalah sikap manja serta kecurigaan istri si Bos yang mungkin saat itu diselesaikan dan mereka sudah bersenang-senang di suatu tempat.
Lain halnya dengan Hizkia. Mendengar pernyataan yang sangat menyakitkan dari Sanherib di mana nama Allah ikut dihina, Hizkia yang saat itu masih dipusingkan dengan perang di mana-mana, tidak memberi reaksi pribadi yang berlebihan terhadap hal itu. Dia justru langsung datang membentangkan masalah itu di hadapan Tuhan. Ya, dia mengadu kepada Tuhan dan menayampaikan semua yang digumulinya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak luput dari berbagai situasi yang menyakitkan, menjengkelkan dan mengundang kemarahan. Kalau mau jujur, respon yang paling cepat dan mudah adalah marah, menangis atau melarikan diri. Namun cara yang tempuh Hizkia menjadi pelajaran berharga. Dia berlutut di hadapan Tuhan, mengadukan semua.
Dalam menyelesaikan sesuatu masalah, orang sering mengatakan: ”Jangan pakai dengkul (lutut), tetapi pakailan otak”. Namun apakah tidak sebaiknya kita memakai keduanya ? Pakai dengkul untuk berlutut di hadapan Tuhan, pakai otak untuk berfikir.
Diposting tanggal 23 Mar 2016