Implikasi Metodologis Teori Quantum Dalam Berteologi

A. Pengantar

Dalam karangan ini, penulis akan menyoroti ciri-ciri fisika kuantum berteologia. Yang penulis hendak ajukan tidak bersifat konseptual, tetapi kurang lebih bersifat metodologis.

Alur pembahasan diawali dengan paparan singkat hubungan sains dan teologia dalam lintasan sejarah. Selanjutnya penulis akan mengikuti perubahan paradigma dari fika klasik ke fisika modern dimana teori kuantum menjadi dominan. Sumbangan pemikiran Thomas Kuhn tentang perubahan paradigma akan di singgung sepintas menjadi jembatan ditinggalkannya fisika klasik menuju fisika baru.. Karakter teori kuantum ini kemudian akan dilihat relevansinya dalam upaya berteologia.

B. Sains dan Teologi dalam Lintasan Sejarah : Catatan Pendahuluan

Dewasa ini berkembang optimisme bahwa problematika perjumpaan sains dan teologia tidak hanya melulu menjebak kedua disiplin ini dalam debat. Baik yang menempatkan keduanya dalam posisi konflik ataupun yang menganggapnya sebagai dua hal yang tidak berkaitan sama sekali. Perwujudan optimisme seperti itu dapat dibangun dengan kontemplasi sejarah perjumpaan sains dan teologia.

Pada abad pertengahan, teologia seakan-akan menjadi superilmu dan dinobatkan sebagai “Ratunya ilmu-ilmu”. Penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip iman akan mendapat penolakan yang sangat besar.

Keadaan demikian berubah dengan munculnya Renaisance pada pertengahan abad 17 dan dilanjutkan dengan Pencerahan pada pertengahan abad 18 sebagai paradigma baru dan menjadi pintu gerbang dimulainya zaman modern. Dalam masa ini teologia seolah-olah kehilangan pengaruh bahkan tersisih, walaupun tidak terhapus.

Tetapi pada awal abd 20, dinamika perjumpaan itu memasuki momentum besar. Hal tersebut dipicu oleh dua hal. Yang pertama, adalah munculnya berbagai masalah etik dan moral di seputar perkembangan ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan ilmiah membuat manusia terkurung dalam penjara rasionalitasnya dan melupakan realitas kemanusiaan yang lain. Para psikolog yang juga pemerhati filsafat ilmu pengetahuan kemudian mengedepankan hal ini dan menyebut era baru dalam peradaban manusia yaitu era respritualisasi yang mengedepankan visi refleksi batin yang mendalam (a deep inner reflection).

Pemicu kedua justru datang dari keberhasilan masyarakat ilmiah ditengah-tengah kegairahan besar dalam menguak struktur alam ini. Berkembangnya teori Kuantumdibidang Fisika telah menjadi sebuah paradigma baru dalam sains. Karakter fisika baru ini yang dikemudian hari tidak hanya menolong para fisikawan dalam kegairahan ilmiah, tetapi juga menjadi acuan pertimbangan konseptual secara transdisipliner.

Dalam momentum besar sejarah perkembangan ilmu pengetahuan inilah teologia mendapat peluang sekaligus tantangan baru. Peluangnya adalah kesempatan keluar dari pemojokan pandangan dunia modern, dan tantangannya adalah bagaimana dia mampu berinteraksi dengan ilmu-ilmu yang lain dan memberi makna bagi dirinya sendiri maupun sumbangan kepada landasan pencarian kebenaran secara luas yang dapat dipertanggungjawabkan.

C. Fisika Klasik

Fisika adalah ilmu yang mempelajari struktur dasar dan proses yang terjadi pada materi dan energi. Salah satu tujuan Fisika adalah memberikan gambaran yang eksak tentang dunia nyata. Yang dicari adalah metode untuk mengamati benda terkecil di dunia. Walaupun fisika telah berkembang selama berabad abad, perkembangannya secara besar-besaran terjadi dalam zaman Renaisance dan Pencerahan yang menjadi titik tolak dimulainya zaman modern. Sebelumnya sains berkembang di bawah bayang-bayang dominasi agama.

Dasar perkembangan besarnya diletakkan oleh Sir Isaac Newton (1642-1727) melalui teori-teori dan tetapan-tetapan yang kemudian berkembang dalam tradisi fisika Newtonian. Bagi Newtonian, alam semesta ini hanya terdiri dari tiga realitas yaitumateri, ruang dan waktu. Materi tersusun atas atom-atom yang terikat untuk selama-lamanya. Sementara itu ruang dan waktu sifatnya absolut, artinya akan selalu ada andaikata materi di alam semesta ini musnah. Jadi ruang dan waktu tidak terbatas, universal dan absolut.

Walaupun sains menyatakan melepaskan diri dari filsafat, dinamika pandangan dunia modern cukup mempengaruhi para ilmuan dan fisikawan pada khususnya dalam kegiatan ilmiah mereka secara epistemologis. Mula-mula rasionalisme kemudian empirisme dan materialisme.

Rasionalisme mula-mula digagas oleh Rene Descartes (1596-1650) dengan semboyan cogito ergo sum (saya berfikir jadi saya ada). Rasio sangat dipentingkan. Dalam rasio terdapat ide-ide, dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas diluar rasio. Pengetahuan yang sejati harus bersumber dari rasio sehingga pengalaman inderawi merupakan pengenalan yang kabur.

Sebagai reaksi atas rasionalisme ini, muncullah suatu aliran baru yaitu empirismeyang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan. Apa yang ditangkap indera merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Para penggagas empirisme ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley dan memuncak dalam pandangan David Hume (1711-1776). Hume sama sekali tidak memberi tempat untuk “aku” manusia selain dari pengalaman-pengalaman yang kemudian direspon dengan persepsi-persepsi inderawi.

Di kemudian hari, rasionalisme dan empirisme di kalangan fisikawan tersedot dalam sebentuk epistemologis yang materialistik. Walaupun Newton bukanlah seorang materialis, dia menggunakan materialisme sebagai metodologinya. Dalam tradisi fisikawan setelah Newton, walaupun tidak bisa diklaim bahwa sains sepenuhnya dikuasasi oleh materialisme, pengaruh materialisme sangat kuat dalam aktifitas ilmiah. Banyak saintis yang kemudian menyingkirkan segala kepercayaannya untuk dapat mengembangkan argumen ilmiahnya yang berasumsi bahwa materi merupakan satu-satunya yang nyata ada. Bahkan aspek-aspek yang berkaitan dengan aktifitas inderawi mental manusia juga dijawab secara fisikal. Thomas H. Huxley mengatakan : ”pikiran yang sedang saya ungkapkan dan juga pikiranmu mengenainya adalah perwujudan dari perubahan-perubahan molekuler”. Respon inderawi tidak lepas dari aktifitas molekuler dalam diri manusia. Rangsangan yang diterima indera menyebabkan perubahan materi dalam organ indera dan menimbulkan respon secara mekanis.

Mengenai aspek-aspek yang lebih luas misalnya tentang karya alam ini, pandangan fisika klasik tidak lepas dari hukum-hukum alam yang ditentukan oleh partikel-partikel pembentuk semesta. Dengan demikian materi adalah satu-satunya realitas yang dapat dipercaya dalam sains dengan hukum-hukumnya yang bersifat mekanistik dan reduksionistik. Akibatnya keberadaan seorang pengamat dalam sebuah kegiatan ilmiah, sama sekali terpisah dengan objek yang sedang diteliti.

Secara ringkas, kita dapat mencatat tiga karakteristik dari fisika klasik yang cukup vital sehubungan dengan maksud penulisan paper ini yaitu deterministik, reduksionistik dan realistik. Deterministik mengklaim bahwa masa depan suatu sistem, pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu sekarang. Semuanya harus terjadi karena memang harus terjadi dan tidak ada pilihan yang lain. Reduksionistik menyatakan bahwa perilaku sistem sepenuhnya dipengaruhi partikel-partikel terkecilnya. Dalam hal ini berlaku hukum sebab akibat. Dengan pandangan ini kita dapat mengetahui, mengapa air itu cair, karet lentur, besi keras, benda jatuh dan sebagainya. Realistik menganggap bahwa teori ilmiah dapat menggambarkan keadaan dunia sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi pengamatnya. Para ilmuwan berusaha mengungkap kebenaran yang bisa diklaim seobjektif mungkin dan berlaku secara universal.

D. Tuhan dalam Geliat Fisika Klasik

Upaya-upaya fisika dalam pencarian susunan materi yang terkecil dan persamaan matematika semakin menjauhkan manusia dari agama, tetapi bukan mengingkari keberadaan Tuhan. Newton bukanlah ateis, tetapi kepercayaannya kepada Tuhan tidak ada kaitannya dengan aktifitas semesta sekarang ini. Tuhan dipandang secara transenden. Dia mencipta, tetapi setelah itu meninggalkan ciptaan dengan hukum-hukum yang tetap dan kemudian berjalan sendiri dengan mekanismenya. Jadi keberadaan Tuhan sangat jauh dan tidak ada kait mengkait dengan aktifitas dunia sekarang. Karena itu tidak ada gunanya membicarakan keberadaan Tuhan pada masa kini. Selain itu sifat determinisme dan reduksionisme fisika tidak mengizinkan adanya sebab yang lain dalam pergerakan dan karakter molekuler. Jangankan Tuhan, unsur kehendak (rasa dan rasio) manusia pun tidak dianggap memiliki pengaruh dalam setiap teori ilmiah.

Menghadapi perkembangan sains yang begitu cepat, teologia seakan-akan menjadi gagap menghadapi ledakan penemuan dan perkembangan sains terlebih dengan keberatan-keberatan logis yang dikemukakan pandangan dunia modern terhadap agama dan teologi. Keadaan ini kemudian memicu munculnya ragam paradigma berteologia. David Ray Griffin mencatat dua metode yaitu konservatif-fundamentalis, dan teologia liberal modern yang lain mencoba “berdamai” dengan pandangan dunia sains.

Teologi koservatif-fundamentalis tetap berpegang kepada Literalisme biblikal yang mendasarkan diri pada adanya suatu wahyu supernatural yang secara historis tidak dapat diuji kebenarannya, juga ketika diuji dengan kacamata ilmu pengetahuan. Dengan paradigma ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap hubungan ilmu pengetahuan dan teologia yaitu konflik dan independensi. Persamaan kedua pandangan ini adalah ketiadaan titik temu. Tetapi dalam pandangan konflik, dikatakan bahwa iman dan ilmu pengetahuan bertentangan, sedangkan dalam pandanganindependen dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teologi tidak punya kaitan apa-apa. Keduanya berada pada domain yang berbeda. Jadi tidak perlu ada konfrontasi apalagi konfirmasi.

Sementara itu para penganjur teologia liberal modern lebih memilih berdamai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sejarah modern. Rumusan-rumusan teologia diupayakan serasional mungkin sehingga tidak perlu ada konflik dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya hanya akan menyisikan teologia dari pergumulan rasional manusia. Griffin mengklaim bahwa teologi ini menggunakan kata Tuhan untuk memberi selubung religius pada cara pandang sekularisme terhadap realitas yang nihilistik. Tetapi ternyata teologia liberal modern ini hampa.

Konsekuensi kedua metode berteologia ini membuatnya semakin jauh dari tradisi ilmiah dan menjadikan teologia semakin terabaikan dalam kegairahan ilmiah masyarakat sainskarena dua alasan. Pertama, Tuhan, nilai-nilai transenden dan jiwa manusia yang merupakan inti dari visi religius berdasarkan tradisi kitab suci tidak lagi diizinkan berperan dalam alam semesta oleh pandangan dunia ilmiah modern. Alasan yang kedua adalah karena semua bentuk teologia dianggap tidak relevan lagi. Modernitas sudah memiliki pengganti teologia untuk mencapai keselamatan. Keselamatan dianggap bisa diperoleh dengan melalui kemajuan materi yang dimungkinkan oleh pasar dan teknologi sains.

1. Fisika Kuantum : Paradigma Baru

Sebelum lebih jauh masuk dalam pembahasan ini, patutlah dicatat di sini sumbangan Thomas Samuel Kuhn, seorang ahli fisika yang kemudian mendalami sejarah ilmu. Melalui tulisannya yang terkenal The Stucture of Scientific Revolution Kuhn berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal segala penyelidikan adalah berguru pada sejarah ilmu. Menurutnya, terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk melakukan falsifikasi (pembuktian kesalahan) terhadap suatu sistem, melainkan berlangsung melalui revolusi ilmiah.

Secara sederhana, yang dimaksudkan dengan revolusi ilmiah adalah “segala perkembangan nonkomulatif dimana paradigma yang telah terlebih dahulu ada digantikan dengan tak terdamaikan lagi keseluruhan atau sebagian dengan yang baru” Paradigma adalah beberapa contoh praktek ilmiah aktual yang diterima dan memberi model-model serta sumber tradisi ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Jika dalam penggunaannya didapatkan anomali (penyimpangan) yang terus menumpuk, maka muncullan krisis. Krisis ini terus-menerus memancing diajukannya pertanyaan terhadap paradigma yang sedang dipakai. Dalam akumulasi anomali yang tidak dapat lagi dijelaskan berdasarkan paradigma yang dipakai, muncullah revolusi ilmiah yang pada gilirannya akan melahirkan tradisi ilmah baru atau paradigma baru, yang kelak menjadi landasan sebuah riset ilmiah dikemudian hari. Perubahan paradigma ini bukan semata-mata penambahan atau perubahan data, melainkan perubahan cara pandang terhadap data yang ada.

Mengikuti cara berfikir paradigmatis Kuhn, kita bisa melihat bahwa optimisme kejayaan Fisika Newtonian pada abad duapuluh dijungkirbalikkan dengan teori fisika baru yang muncul dalam paruh abad ini.

Teori Relativitas Albert Einstein pada tahun 1905 telah memicu terjadinya sebuah revolusi sains yang secara frontal meruntuhkan klaim absolutisme ruang dan waktu fisika klasik. Einstein mampu memperlihatkan bahwa ruang dan waktu serta hukum-hukum gerak hanya dapat dimengerti jika melibatkan pengamat dan seluruh organ tubuhnya. Peneliti bukanlah sekedar penonton (observer) yang lepas dan tidak terlibat melainkan ikut ambil bagian (participator) dalam penelitian-penelitian fisika. Teori ini jelas menentang realisme klasik Newtonian yang mengharapksn hasil penelitian yang objektif.

Dalam bidang mikro Pada tahun 1911, Ernest Rutherford memperkenalkan deskripsi atom yang tersusun atas nukleus yang amat kecil dan dikelilingi oleh elektron-elektron. Usahanya selalu gagal jika hendak menerangkan struktur atom menurut teori fisika klasik Newtonian. Akhirnya Neils Bohr dan Warner Heisenberg berhasil memecahkan kebuntuan itu dengan mengemukakan teori kuantum yang menunjukkan bahwa sifat-sifat dari partikel terkecil dari materi tidak dapat ditetapkan lepas dari berbagai pilihan dan tindakan peneliti. Heisenberg membeberkan ciri-ciri elektron sebagai salah satu partikel terkecil dari sebuah materi. Menurutnya, kita dapat mengetahui di mana partikel itu ada, tetapi tidak dapat dikatakan secara khusus kecepatan dan arahnya. Dari sinilah berkembang ketidakpastian yang kemudian disebut ketidakpastian Heisenberg bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan dengan zero tolerance. Ketidakpastian Heisenberg ini menunjukkan paradoks ilmu, artinya betapapun halus instrumen yang digunakan untuk mengenali ilmu, namun selalu ada kondisi dimana kita berhadapan dengan sesuatu yang masih kabur, masih tidak pasti. Hukum-hukum fisika yang absolut berhadapan dengan hukum-hukum kemungkinan dan kebetulan. Teori Heisenberg ini pun merupakan hal yang revolusioner yang mengubur determinisme dan realisme fisika klasik. Bersamaan dengan itu, fisika klasik yang hanya mengakui dua realitas yaitu materi beserta hukum-hukumnya yang tidak mengizinkan kreativitas berfikir manusia, harus menyerah pada kenyataan bahwa pikiran manusia juga sangat menentukan dalam realitas fisika. Keberadaan manusia secara fisik memang dapat diterangkan secara kimiwi dan fisikal. Namun pikiran manusia melampaui fisika dan kimia.

Disamping menantang determinisme dan realisme, fisika kuantum juga menantang reduksionisme fisika klasik. Apa yang pernah dianggap sebagai partikel elementer tampaknya merupakan manifestasi sementara dari pola gelombang-gelombang yang berubah yang bergabung pada satu titik, terurai lagi dan bergabung dengan titik yang lain. Begitu sistem yang lebih kompleks terbentuk, muncullah sifat-sifat baru yang tidak terdapat dalam bagian-bagiannya. Keseluruhan yang baru ini mempunyai prinsip organisasi yang unik sebagai sistem dan oleh karena itu memunculkan sifat dan aktifitas yang tidak ditemukan dalam komponen penyusunnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pandangan fisika klasik yang menganggap bahwa perilaku sistem sepenuhnya dipengaruhi partikel-partikel terkecilnya. Fisika kuantum menunjukkan karakter holistik yang hendak menunjukkan bahwa fisika klasik tidak dapat memberikan gambaran tentang realitas secara utuh. Dia justru menunjukkan adanya kesatuan dan kesalingberkaitan semua peristiwa. Polkinghorne mengatakan bahwa keadaan kuantum menunjukkan adanya pandangan integrasionis yang sangat mengejutkan tentang hubungan antar sistem yang berinteraksi satu sama lain, bagaimanapun jauhnya jarak pisah pada kejadian selanjutnya.

Secara ringkas, karakteristik teori kuantum dapat diterangkan sebagai berikut:

  1. Realisme Kritis, meninggalkan realisme klasik. Tidak ada produk atau teori ilmiah yang dapat diklaim objektif. Keterlibatan pengamat memberikan pengaruh yang sangat besar pada hasil penelitian. Kekhasan hasil penelitian tidak bisa menjamin objektifitas ilmu.

  2. Holisme, meninggalkan reduksionisme. Segala sesuatu merupakan bagian-bagian yang secara terus-menerus bersifat relasional. Karena keseluruhan lebih besar dari pada jumlah dari bagian-bagian, maka pengertian manusia terhadap satu hal selalu partikular dan harus selalu terbuka untuk pengertian baru dan lebih luas walaupun tidak dapat dikatakan sempurna.

  3. Indeterminasi, meninggalkan deterministik. Berkaitan dengan realisme kritis, ketidakpastian dalam fisika kuantum dipahami sebagai ketidakpastian dalam alam dan bukan sekedar produk keterbatasan manusia. Ada kemungkinan-kemungkinanyang bisa menjadi kebetulan yang tidak dapat dijangkau pikiran manusia. Hal itu mengkonfrontasikan hukum-hukum eksak dengan teori kemungkinan. Absolutisme fisika klasik diruntuhkan dengan teori relativitas.

2. Teologia dalam Fisika dengan Paradigma Baru

Teori kuantum telah membawa dunia ilmu pengetahuan dalam sebuah revolusi ilmiah. Karakteristiknya telah meruntuhkan paradigma fisika klasik dan modernisme pada umumnya. Paradigma holistik kuantum tidak hanya membawa pengaruh besar pada perkembangan sains tetapi juga dalam disiplin yang lain. Bahkan paradigma baru ini menuntun para fisikawan menembus sekat ilmiahnya dan dimungkinkan merambah ke dalam keluasan realitas melalui disiplin lain.

Mengenai hubungan sains dan teologia, sekian lamanya kedua disiplin ini berada dalam relasi yang tidak harmonis. Namun akhir-akhir ini, berbagai wacana telah diangkat kepermukaan yang menegaskan keterkaitan kedua disiplin ini. Menariknya upaya ini tidak dihasilkan oleh teolog yang sepanjang pergumulan akademik dan profesinya berkecimpung dalam dunia teologia. Literatur yang membicarakan masalah sains dan agama pada saat ini sebagian besar ditulis oleh para saintis. Kalaupun penulisnya adalah seorang teolog, gagasan yang dikembangkan lebih banyak didasarkan pada idea yang digagas oleh ilmuwan. Dari sekian banyak ilmuwan yang telah mengembangkan hal ini, cukuplah kita menyebut dua orang yang cukup menonjol yaitu Alfred North Whitehead dan Ian G. Barbour.

Alfred North Whitehead adalah seorang ahli matematika. Dia merumuskan dan mengembangkan filsafat proses yang berdiri dalam hubungan sains dan agama. Filsafat Proses yang sangat akrab dengan fisika kuantum dan potret realitasnya sebagai sekumpulan peristiwa medan yang saling mempengaruhi. Menurut Whitehead, proses mengubah dan hubungan antarperistiwa adalah lebih penting daripada objek sempurna dan abadi. Alam merupakan jaringan antar peristiwa yang dinamin yang ditandai dengan kebauran dan tatanan.

Bagi filosof proses, penciptaan adalah proses panjang dan belum selesai. Tuhan bukanlah kekuatan transenden sebagaimana diyakini Kristen Klasik. Tuhan berinteraksi secara timbal balik dengan dunia dan berpengaruh atas semua peristiwa tetapi tidak pernah menjadi sebab tunggal setiap peristiwa. Tuhan itu transenden, tetapi juga immanen. Filsafat Proses mengakui kemahakuasaan Tuhan dalam arti pengaruhnya dalam setiap peristiwa. Ketakberubahan Tuhan yang diakui Filsafat Proses bukanlah karakteristik Tuhan Biblikal, melainkan Tuhan yang terlibat aktif dalam sejarah. Berdasar pada filsafat proses ini, tampillah para teolog proses yang kemudian menyebut diri mereka sebagai teolog postmodern, antara lain Charles Hartshorn, John Cobb dan David Ray Griffin.

Cara berfikir yang ditawarkan filsafat proses (yang kemudian menghasilkan teologi proses) menjadi inspirasi utama bagi Ian G. Barbour. Dia disebut-sebut sebagai peletak dasar wacana mutakhir tentang sains dan agama. Memulai karier sebagai fisikawan dan menjadi pengajar Fisika di Carleton College USA, dia memutuskan untuk juga menekuni disiplin teologia. Di kemudian hari dia menjadi Guru Besar di bidang fisika dan teologi. Suatu perpaduan yang sangat unik !

Barbour memetakan empat hubungan antara Sains dan Agama yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. Dia bersimpati kepada dialog dan integrasi terutama Teology of nature yang menerapkan secara cermat filsafat proses. Filsafat proses dianggapnya sebagai kandidat yang menjanjikan untuk menjadi penengah dewasa ini karena ia sendiri dirumuskan dibawah pengaruh gagasan sains dan agama. Barbour agak pesimis terhadap efektifitas natural teology yang berkembang dalam zaman modern dibawah bayang-bayang kejayaan ilmiah sains, yang berupaya merumuskan (walaupun penuh dengan perdebatan) bukti-bukti ilmiah berberadaan Tuhan. Barbour lebih tertarik pada Teology of nature yang berupaya merumuskan kembali beberapa doktrin tradisional dalam sinaran sain terkini secara transdisiplin.

E. Implikasi Metodologis Kuantum dalam Berteologia

Secara konseptual kita telah melihat implikasi teori kuantum yang kemudian dielaborasi oleh Whitehead sebagai penggagas filsafat proses. Gagasan ini kemudian dikembangkan secara kreatif oleh para penulis post modern dan pemerhati hubungan sains dan agama.

Dalam bagian ini penulis mencoba mengajukan beberapa pokok pikiran mengenai implikasi metodologis teori kuantum dalam berteologia. Sebagai wacana awal, penulis cukup tertolong oleh optimisme Barbour yang melihat adanya kemungkinan kesejajaran metodologis antara sains dan teologia. Jika mengikuti paradigma fisika klasik dan modernisme secara umum, hal tersebut tidak dimungkinkan. Namun perkembangan teori kuantum telah memberi sebuah kemungkinan baru dalam hubungan sains dan agama, bukan hanya kesejajaran konseptual, kesejajaran metodologis.

1. Adakah Penafsiran Alkitab yang Objekif?

Tidak dapat dipungkiri bahwa realisme fisika klasik yang tidak mengakui peran pengamat terhadap sistem yang sedang diteliti sering menjadi fenomena dalam penafsiran Alkitab. Hal ini tergambar dari istilah “eksegese” (harfiah: menarik keluar) yang kemudian lebih banyak disamakan begitu saja dengan menafsir. Sama dengan aktifitas ilmiah fisika klasik mengharapkan sebuah teori atau temuan ilmiah yang objektif, para penafsir Alkitab juga sering mengharapkan hasil penafsiran yang objektif universal. Dalam hal ini para penafsir sering memperhadapkan radikalisme exegese ini secara negatif dengan “eisegese” yang dianggap sangat subjektif dan memasukkan pikiran-pikiran penafsir terhadap teks yang ditafsir.

Gerit Singgih mengakui sikap ini sebagai situasi umum dunia biblika di Indonesia. Dikatakan bahwa para pakar biblika berusaha mempertahankan keobjektifan ilmu tafsir Alkitab. Karena itu yang dilakukan penafsir adalah berusaha merekonstruksi latar belakang teks untuk mendapatkan makna yang asli yang objektif. Metode-metode tafsir yang berkembang dikalangan pakar biblika bagaimanapun bentuknya dan argumen-argumen yang diajukan untuk mempertahankan keefektifan metode tertentu, selalu bermuara pada cita-cita objektifitas hasil tafsir.

Dalam hal inilah realisme kritis kuantum menyadarkan dunia biblika bahwa harapan mencapai hasil tafsir yang benar-benar objektif adalah suatu hal yang tidak mungkin. Upaya itu hanya akan memunculkan perdebatan-perdebatan yang berakhir perbedaan dogmatis. Penulis menilai bahwa iming-iming objektifitas penafsiran Alkitab merupakan salah satu penyebab kemunculan berbagai macam denominasi dalam gereja.

Dalam hal ini pertimbangan filofofis Hans George Gadamer sangat menolong untuk mengelaborasi realisme kritis kuantum dalam penafsirkan Alkitab. Dikatakan bahwa 1) Kita tidak mungkin membaca teks tanpa prasangka (lebih baik “prapaham”) dan 2) kita tidak mungkin memahami teks kalau tidak menambah makna terhadap makna yang sudah ada. Tentunya Gadamer tidak memberi kebebasan seluas-luasnya kepada penafsir untuk memanipulasi teks Alkitab untuk menguatkan pahamnya. Disinilah Gerit Singgih menyebutkan penggabungan dua cakrawala Gadamer. Yang satu adalah dunia teks dan kedua, dunia pembaca. Yang diharapkan bukanlah campuran seimbang keduanya. Bukan langkah gradual: menarik makna asli (eksegese) lalu menerapkannya dalam dunia pembaca hermeneutik. Eksegese objektif, hermeneutik subjektif. Bukan itu ! Justru hermeneutiklah yang terjadi sejak kita memasuki dunia teks. Ricoeur menyebutnya penafsiran Alkitab dengan pendekatan readers respon.Dengan pendekatan ini, istilah eksegese tampaknya sudah kurang relevan lagi jika hendak menggali kebenaran Alkitab dimana kebenaran itu mempunyai makna dalam suatu komunitas.

2. Kebenaran yang Relasional

Masalah penafsiran Alkitab yang diuraikan di atas bersinggungan langsung dengan masalah ini : Apakah ada kebenaran yang universal ? Kalaupun penulis bersimpati pada metode penafsiran dengan pendekatan readers respon, hal itu tidak menggiring penulis untuk mengatakan bahwa rumusan yang dihasilkan metode ini merupakan suatu kebenaran asasi. Masalahnya, pendekatan readers respon akan menghasilkan pengakuan terhadap beragam tafsiran. Tergantung pada siapa dan situasi apa yang dihadapi oleh sang readers. Jika ada lebih dari satu pihak menginterpretasi teks tertentu, belum tentu hasil interpretasi mereka sama. Interpretasi yang tidak sama ini bisa saja bertentangan. Tetapi yang bertentangan tidak bisa dihakimi dengan mengatakan yang satu benar dan yang lain salah. Semuanya bisa saja mengandung nilai kebenaran, sekurang-kurangnya bagi satu pihak atau komunitas pada tempat dan waktu tertentu.

Dalam hal ini, penulis pesimis terhadap cara pandang yang hendak mengklaim satu tafsiran tertentu sebagai kebenaran mutlak dan dapat berlaku secara universal. Dengan demikian berlakulah relativitas Einstein. Penulis menerima istilah relativitas ini bukan dengan pengertian “belum tentu benar”, tetapi dalam pengertiankesalingterkaitan klaim kebenaran. Dengan prinsip ini, kita tidak mungkin mengklaim sebuah rumusan sebagai yang paling benar dan sah. Yang dimungkinkan adalah kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, dan sekurang-kurangnya berguna dalam suatu komunitas dan waktu tertentu.

Ketidakmutlakan satu kebenaran sebagai “satu-satunya” menuntut diterimanya prinsip kebenaran yang “relasional”. Artinya untuk mendapatkan suatu kebenaran yang lebih luas, kita harus menggunakan cara pandang secara holistik untuk melihat setiap klaim kebenaran. Dengan pendekatan holistik ini, kita akan terbuka terhadap kebenaran-kebenaran yang lain. Keterbukaan ini tentunya tidak diarahkan untuk menghasilkan suatu kebenaran yang universal yang kemudian dapat dimutlakkan. Yang diharapkan bahwa dengan cara demikian, pengertian kita akan semakin diperkaya.

3. Kajemukan yang Relasional

Sekarang ini, gereja bertambah (bukan bertumbuh !) bagaikan jamur di musim hujan. Tetapi pertambahan ini bukan indikasi semakin banyaknya pengikut Yesus. Hal itu lebih disebabkan oleh beragamnya rumusan kebenaran sebagai hasil tafsiran terhadap kesaksian Alkitab yang kemudian diklaim sebagai kebenaran mutlak. Hal ini menjadi gejala yang paling menonjol dalam tubuh Protestan yang terdiri aliran Calvinis, Lutheran, Methodis, Anglican, Menonit, Pantekostal, Kharismatik, Advent, Kemah Injil, Baptist, dan berbagai aliran lainnya.

Dalam bentuk yang lebih luas dari hal tersebut, Kekristenan juga diperhadapkan pada klaim kebenaran yang lain di luar Kristen. Ketiganya mengenal tokoh Abraham dengan rumusan dan interpretasi yang berbeda. Persoalannya adalah: mana yang paling benar ?

Dalam hal inilah prinsip “kebenaran yang relasional” mendapatkan tempat. Bagaimanapun juga, setiap denominasi memiliki nilai-nilai kebenaran yang tidak ditemukan dalam denominasi yang lain. Jika aliran Calvinis, misalnya, membuka diri terhadap nilai-nilai kebenaran dalam Pantekostal, peluang untuk mendekati kebenaran Kristus yang lebih luas akan ditemukan. Akhir dari keterbukaan ini bukanlah menghasilkan sebuah aliran baru, tetapi semakin memperkaya.

Demikian pula dengan klaim kebenaran dari dalam setiap agama. Bagaimanapun juga setiap agama membuat rumusan kredo berdasarkan interpretasinya terhadap datayang ada. Data yang dimaksud adalah kitab suci masing-masing. Isi kitab suci bukanlah tulisan tangan Allah yang diberikan kepada manusia, tetapi merupakankesaksian dari orang yang mendengar atau melihatnya. Sementara itu, tidak dapat dipungkiri bahwa perkara melihat dan mendengar, selalu menyertakan unsur subjektif. Dengan demikian, sadar atau tidak, isi kitab suci adalah hasil “interpretasi” yang tidak lepas dari subjektifitas penulisnya. Apalagi jika kitab suci yang dijadikan sumber kebenaran adalah terjemahan. Sebab dalam menerjemahkan (mengalihbahasakan) ada unsur menafsirkan. Artinya kredo setiap agama adalahhasil interpretasi dari hasil interpretasi. Aktifitas teologis adalah menginterpretasi hasil intepretasi. Hal ini menyebabkan kemustahilan kebenaran sui generis dalam setiap agama.

4. Ketidakpastian Heisenberg Mendukung Teologia Konstekstual

Penulis menghubungan kenyataan di atas dengan ketidakpastian Heisenberg, lalu menyebutnya ketidakpastian teologis. Hal ini bukan berarti penulis mengklaim bahwa tidak ada hal yang pasti dalam kesaksian kitab suci atau pengakuan iman misalnya anggapan bahwa keberadaan Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah hal yang tidak pasti. Jika hal itu dilakukan, maka tidak akan ada lagi istilah teologia. Jika para fisikawan menafsirkan ketidak pastian heisenberg sebagai produk dari keterbatasan pada alam dan keterbatasan manusia, maka penulispun merumuskan keterbatasanteologia sebagai keterbatasan kesaksian Alkitab (dalam Kekristenan) dan keterbatasan manusia dalam memahaminya secara benar dan utuh.

Tentang keterbatasan manusia, mungkin bisa diterima. Tetapi klaim keterbatasan kesaksian Alkitab yang penulis ajukan, bisa menimbulkan perdebatan seolah-olah penulis meragukan kebenaran Alkitab. Tetapi penulis dapat mengajukan argumen demikian: Semua yang tertulis dalam Alkitab adalah kebenaran atau menggiring kita pada kebenaran. Tetapi tidak semua kebenaran ada dalam Alkitab. Ada hal-hal lain yang tidak disebutkan dalam Alkitab, sebab bagaimanapun juga Alkitab ditulis dalam pergumulan kontemporer manusia dengan Allah dalam zamannya menyangkut identitas dan pergumulan dalam satu tempat dan waktu tertentu.

Kalau begitu, dimanakah kebenaran yang lain, yang membuat kebenaran Alkitab menjadi kebenaran yang utuh dan mengatasi segala sesuatu ? Seandainya Heisenberg adalah teolog, diapun akan menamakannya ketidakpastian teologia dan menuntun manusia untuk terus menerus menggali kebenaran secara holistik. Termasuk kebenaran-kebenaran yang mungkin ada dalam tatanan budaya tertentu atau dalam sebuah pergumulan yang kontemporer. Dalam hal inilah, pergumulan gereja-gereja untuk mengupayakan teologia kontekstual menjadi agenda penting dan didukung oleh penalaran filosofik yang ditawarkan teori kuantum. Menggali kebenaran secara holistik berarti melakukan upaya-upaya secara transdisipliner, interreligius dan interkontekstual. Dengan demikian kita tidak sedang mencari kebenaran dengan sepotong cermin yang kecil atau dengan cermin yang besar tetapi pecah !!!

BIBLIOGRAFI

Barr, James, Fundamentalisme Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996

Barbour, Ian G., Juru Bicara Tuhan, Bandung, Mizan , 2002. Judul Asli, When Sciense Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners

Barbour, Ian G., Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung, Mizan 2005.

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1998.

Griffin, Dafid Ray, Tuhan Dan Agama Dalam Dunia Post Modern, Yogyakarta , Kanisius, 2005

Griffin, David Ray, Visi-visi Post Modern, Yogyakarta, Kanisius, 2005.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, 1980

Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2004.

Hesselgrav, David J. dan Edward Rommen, Kontekstualisasi : Makna, Metode dan Model.( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996

Leahy, Louis, Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini, Yogyakarta: Kanisius 1997

Leahy, Louis, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yogyakarta, Kanisius, 1982

O’Murchu, Diarmuid Quantum Theology. New York: A Crossroad Book, 1999.

Peters, Ted dan Gaymon Bennett, Menjembatani Sains Dan Agama, Jakarta : BPK 2004. Judul Asli, Bridging Science and Religion

Soetomo, Greg, Sains dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Semiawan, Conny dkk, Panorama   Filsafal Ilmu.   Landasan   Perkembangan   Ilmu   Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju, 2005

Singgih, E. Gerit, Mengantisipasi Masa depan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004

Whitehead, A.N., Sains dan Dunia Modern, Bandung : Nuansa, 2005. Judul Asli,Science and Modern World.

Banawiratma J.B., “Teologi Fungsional, Teologi Kontekstual” dalam Eka Dharmaputera (Peny), Konteks Berteologia di Indonesia Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.


Diposting tanggal 23 Mar 2016

Daftar Artikel

Lan alla’na to Yahudi den tu Pahang kumua ia tu baine tamanang misa’ a’gan dipomas.....

Selengkapnya ..

2 Petrus 3:8-18 menjelaskan tentang pergumulan orang Kristen sehubungan dengan kedatangan Yesus, men.....

Selengkapnya ..

Perikop ini menguraikan bahwa Maria memuji Allah karena perkara besar yang ia telah terima dari Alla.....

Selengkapnya ..

Hana mengalami penderitaan batin akibat penghinaan dari Penina karena kemandulannya. Namun Hana tak .....

Selengkapnya ..

Ketika Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai “air sumber kehidupan”, orang-orang Farisi .....

Selengkapnya ..

Salah satu sifat Tuhan adalah adil. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dalam pengabdian Yesus terha.....

Selengkapnya ..

Dalam Perjanjian Lama, Allah berbicara kepada umat melalui para nabi, tetapi pada Perjanjian Baru, T.....

Selengkapnya ..

Firman Tuhan yang kita baca hari ini menegaskan perbedaan antara orang yang beribadah dengan yang ti.....

Selengkapnya ..

Bacaan firman Tuhan hari ini mengisahkan perstiwa di Yeriko, di mana Elisa dipakai oleh Tuhan untuk .....

Selengkapnya ..

Dalam Yehezkiel 34:11-24 dikisahkan kondisi bangsa Israel saat dibuang ke Babel pada tahun 597 sM. P.....

Selengkapnya ..

Pa’basanta totemo umpamanassa kamengkaolanna to Ma’pudi lako Puang Matua tonna tingayo k.....

Selengkapnya ..

Cari Artikel

Kategori Artikel

Bahan renungan yang dapat dijadikan bahan Saat Teduh, disadur dari tulisan para pendeta Gereja Toraja
Tampilkan Artikel Renungan Harian
Khotbah Pendeta-pendeta dalam Gereja Toraja
Tampilkan Artikel Khotbah
Humor Rohani yang dapat membuat anda tertawa dan disadur dari berbagai sumber
Tampilkan Artikel Humor Rohani
Kisah dan cerita inspiratif yang dapat dijadikan ilustrasi dalam khotbah, disadur dari berbagai sumber
Tampilkan Artikel Ilustrasi
Tulisan, Uraian, dan teks-teks, diseputar masalah-masalah Teologia
Tampilkan Artikel Teologi
Buku-buku teologi dalam bentuk digital, yang dapat menambah wawasan berteologi.
Tampilkan Artikel Literatur Digital
Bahan-bahan Khotbah Ibadah Hari Minggu, Hari Raya Gerejawi dan Ibadah Rumah Tangga Gereja Toraja yang disadur dari Buku Membangun Jemaat
Tampilkan Artikel Membangun Jemaat

Artikel Terbaru

Membangun Jemaat

Bahan Khotbah Minggu Ke-50 ...

Yohanes 1:1-9; 19-28 menguraikan bahwa dalam ayat ...

Renungan Harian

Senin, 14 Desember 2020 E ...

Kadanna Puang nakua, batta’komi lan Puang si ...

Khotbah

Memuliakan Allah Dengan Ka ...

Dalam Injil Yohanes, waktu kematian itu adalah wak ...

Teologi

Gereja Toraja dan Misinya ...

Sebagai lembaga gereja yang cukup besar di daerah ...

Literatur Digital

Doa Sang Katak 1 ...

Meskipun hati manusia merindukan Kebenaran, tempat ...

Ilustrasi

Jangan Cepat Menghakimi .. ...

Sebenarnya Pemuda Kaya ini membeli sebuah karcis k ...

Humor Rohani

Doa Yang Tulus ...

Suatu hari seorang anak sekolah minggu dengan terg ...